KOMPAS.com - Bagi Anda yang belum pernah ke Pulau Flores atau Nusa Tenggara Timur (NTT), pergilah terbang ke sana. Bisa dimulai dengan turun di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Nama Sikka terkenal dengan tenun ikat Sikka. Di pantai pinggir laut kota ini bersusun rumah-rumah pondok. Di situ ibu-ibu tampak menenun dengan cara tradisional yang tak berubah dari ratusan tahun.
Setiap tur ke Komodo selesai, baiknya diakhiri dengan tur keliling sekitar kota, lalu dihibur dengan performance musik dan tari tradisional.
-- Konradus Jeladu
Menenun ikat memang merupakan salah satu kegiatan sehari-hari dan menjadi mata pencaharian utama. Dan, dewasa ini sedang berlangsung satu program yang didisain oleh masyarakat: mewariskan pada orang-orang muda tradisi menenun.
Bersamaan itu, juga semacam ’gerakan’ membuat orang muda agar menyenangi dan meneruskan warisan tradisi-tradisi seni budaya, dari musik hingga tari-tarian tradisional.
Berbelanja kain tenun ikat Sikka bisa dilakukan di banyak tempat di daerah ini. Di tempat-tempat pantai di mana mereka menenun, di situ juga dipajang bergantungan pada tali memanjang, seperti jemuran, hasil-hasil tenun ikat itu. Tiap lembar ada yang dikerjakan dalam sebulan, dua bulan, atau bahkan lebih. Makin lama jumlah hari pengerjaannya, harga jualnya makin tinggi.
Dari Maumere dengan mobil, akan mencapai danau tiga warna yang sudah lama terkenal lantaran selalu dipromosikan: Kelimutu. Rasanya sudah tiga puluh tahun lebih Danau Kelimutu selalu ditampilkan di setiap brosur, iklan, bahkan buku-buku pariwisata. Sekitar tiga setengah jam sampailah kita di satu pelataran parkir.
Dinamai Taman Parkir Casuarina Loka, luasnya bisa memuat 20 mobil dan 30 sepeda motor. Di situ ada yang disebut sebagai pendopo, shelter untuk istirahat dan toilet. Memang, yang disebut pendopo, shelter dan toilet ini tampak sekadar pondok berkisar 2 x 2,5 meter, seperti ringkih sudah terlalu tua.
Di situ seorang ibu berjualan minuman kemasan kaleng atau botol, minuman kopi atau teh hangat dari air termos, nyaris tak ada tempat duduk untuk isitirahat, tapi di situ pula kembali kain-kain tenun ikat digantung sekadarnya: itu barang jualan. Dan harganya per kain bergerak dari Rp 150.000 sampai Rp 400.000.
Ketika itu kita teringat di dunia pariwisata pun diperlukan empati: andaikan kita adalah wisman. Tiba di tempat atau destinasi yang sudah ’kesohor’, biasanya turis disambut oleh satu bangunan dengan ruangan selamat datang; bisa melihat selintas informasi tentang Danau Kelimutu, biasanya juga tersedia maket atau peta situasi.
Kalau pun ada barang suvenir semacam kain tenun ikat, tentulah tersajikan rapih dengan etalase yang enak dipandang mata. Bangunan yang berfungsi welcoming terhadap tamu yang datang berkunjung, niscaya bukan memerlukan yang mewah. Rapi, bersih, berwarna yang ramah, dan petugas atau penjual barang di situ pun ramah serta antusias berkomunikasi dengan tamu pendatang. Jadi, pintu gerbang Kelimutu memerlukan suasana semacam itu.
Dari taman parkir, wisatawan dipandu oleh guide lokal, berjalan mendaki santai sekitar sekilometer menuju puncak Gunung Kelimutu. Puncak itu disebut Inspiration Point. Sejak dari kota Maumere hingga ke puncak Gunung Kelimutu, kemudian ketika sudah berada di Labuan Bajo, setiap kali berkomunikasi dengan penduduk, keramahtamahan masyarakat berbicara selalu menyejukkan di telinga kita.
Sepanjang perjalanan darat di Pulau Flores, hijaunya lingkungan memperlihatkan sumber daya alam yang subur. Anda dapat turun sejenak di beberapa lokasi di perjalanan untuk menyaksikan pohon kakao alias pohon buah cokelat, pohon jambu mente, pohon buah kemiri. Sebagian wisatawan memang turun lalu menyentuh pohon dan buah cokelat itu dengan jari tangan sendiri.
Wisman memang adakalanya memilih over-land tour dari Maumere sampai Labuan Bajo. Durasi tur tersebut antara lima sampai tujuh hari. Di tengah perjalanan menginap di Ende dan di Bajawa.
Ada juga yang sebelumnya berkunjung ke Larantuka, biasanya bersifat wisata religi. Tur religi Katolik ke kota Larantuka di Kabupaten Flores Timur sudah lumayan dikenal di dunia pariwisata.
Labuan Bajo
Kota pesisir ini sungguh memerlukan empati pula. Wisatawan yang datang niscaya bertujuan hendak melihat komodo. Biasanya berangkat pagi-pagi sekitar pukul enam, dua jam kemudian sudah tiba di Pulau Komodo atau Rinca. Maka, total tur menyaksikan Komodo itu pun cukup dengan menghabiskan waktu setengah hari.
Sebelum sore, tur berakhir dan tiba kembali di Labuan Bajo. Kecuali, ada wisatawan yang memilih menginap di atas boat, berarti, durasi turnya adalah dua hari satu malam. Ada juga sea tours yang dengan boat mengelilingi pulau-pulau kecil yang seakan ditaburkan di atas laut off shore dari Labuan Bajo.
Ketika tur ke komodo usai, terasalah kekosongan acara. Nyaris tidak tersedia kegiatan yang bisa ‘menarik hati’ dan ‘dinikmati’ oleh wisatawan. Bagusnya, di antara pelaku pariwisata di Labuan Bajo, dewasa ini sedang berwacana ingin menghidupkan sanggar-sanggar seni budaya. Dimaklumi, Pulau Flores ternyata menyimpan beragam potensi untuk diolah menjadi art and culture show performance.
Konradus Jeladu, salah seorang yang saat ini sedang bersusah payah menghidupkan sanggar seni budayanya, sudah mencoba merealisasikan wawasan itu. Beberapa kali hotel berbintang di kawasan pantai itu mengundang grup dari sangggarnya untuk memenuhi permintaan wisatawan atau acara MICE.
“Satu kelompok tari dan musik dari anak-anak didik dan anggota saya biasanya berjumlah 20 orang untuk satu pertunjukan,” kata dia.
Mestinya, dari pengalamannya 30 tahun menjalani profesi tour guide, Konradus bersama sesama pelaku pariwisata melihat situasi yang mendesak akan kebutuhan kegiatan acara penyajian musik, tari, dari seni budaya lokal, yang dilekatkan dengan acara sightseeing dan shopping di sekitar kota kecil Labuan Bajo itu.
“Setiap tur ke Komodo selesai, baiknya diakhiri dengan tur keliling sekitar kota, lalu dihibur denganperformance musik dan tari tradisional, tentu setelah dikemas secara profesional, lalu shopping, sampai relaksasi,” kata Konradus.
Akan halnya acara rileks di pantai Labuan Bajo itu, diterobos oleh Matheus Siagian, seorang pengusaha muda yang baru enam bulan ini mengoperasikan sebuah kafe berlantai tiga, bangunan sederhana tetapi kokoh dan ‘berseni’ dari kayu-kayu lokal, terbuka menghadap ke laut. Dia namakan restorannya TreeTop, jika perlu bisa menerima sampai 80–100 tamu sekaligus.
“Wisatawan itu duduk-duduk santai di sini, ada yang makan, atau sekadar minum, memandangi laut yang indah dengan tebaran pulau-pulau, seraya berbincang-bincang. Pokoknya santailah dan mereka mengisi waktu di tempat ini,” kata Matheus. (Arifin Hutabarat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar