Sate telur puyuh, tempe tahu bacem, sate usus, dan sego kucing berjajar rapi di atas gerobak berukuran sekira satu setengah meter. Di samping deretan makanan itu, tiga ceret berisi air dijerang untuk menyeduh teh, kopi, wedang jahe, plus wedang salam.
Tak seperti umumnya angkringan, Angkringan Sego Kucing "Lik No" punya kekhasan lain. Jika selama ini angkringan identik dengan tempat makan dengan cahaya temaram, tidak bagi Satrio Adi Nugroho, si juragan.
"Biasanya, kalau angkringan pasti remang-remang. Kita concern ke makanan tradisional tapipingin konsepnya beda, pingin terang, bersih, higienis, karena kita hidup di zaman modern. Tapi, rasa basic harus tetap ada," tutur pria yang akrab dipanggil Rio itu saat ditemuiKompas.com di Jakarta Convention Center (JCC), di Jakarta, Minggu (8/9/2013).
Awal mula membuka usaha angkringan, pada 2011, Rio berkisah soal kerinduannya akan kampung halamannya di Yogyakarta, termasuk pada angkringan. Lulusan jurusan manajemen Universitas Atmajaya Yogyakarta itu hijrah ke Jakarta pada 2004. "Pertama kali hijrah di Jakarta, saya mikir, kenapa ada yang kurang," ucapnya.
Rio mengatakan, bagi mereka yang sudah mengenal dan pernah bersekolah di Yogyakarta, angkringan adalah suatu hal yang tidak asing. "Kita rindu, kita pingin lagi ke angkringan. Jadi, kenapa angkringan, karena satu, saya hobi ngangkring, kedua saya suka makan. Jadi, pinginsuatu saat harus punya," jelasnya.
Sebelum cita-citanya terlaksana dua tahun yang lalu, Rio pernah bekerja untuk beberapa perusahaan. Salah satunya menjadi staf internal audit di sebuah perusahaan ritel ternama, yang terletak di kawasan Tanah Abang.
Tak hanya di satu tempat, ia mengatakan pernah berpindah-pindah pekerjaan sepanjang 2004 hingga 2011. Rio pernah mencoba peruntungan menjadi pengusaha dengan membuka jasalaundry. Namun, ternyata menjadi pengusaha laundry juga bukan jalannya.
"Akhirnya saya niat, setelah gagal laundry, harus ada gantinya, dan dibukalah angkringan. Pertamanya saya beli satu gerobak itu harga Rp 2 juta, ditambah yang lain-lain jadi sekitar Rp 3-Rp 4 juta," ujar Rio.
Bulan pertama, Rio hanya dibantu oleh satu juru masak dan satu tenaga penjual. Bisnis kuliner yang satu ini tampaknya berjalan mulus. Pada bulan kedua, Rio sudah menambah satu lagi gerobak.
"Bulan ketiga saya bikin dapur, bulan kelima saya nambah gerobak lagi, dan bulan keenam ada teman yang mau join," terangnya.
Pada bulan keenam itulah, Rio memiliki empat gerobak, tiga di antaranya dikelola pribadi, satu dikelola mitra. Saat ini, jumlah Angkringan Sego Kucing "Lik No" mencapai 10 gerobak dan akan tambah lima gerobak lagi yang dikelola mitra.
"Gerobak pertama sekarang masih ada di belakang Summarecon, yang lainnya ada di Ciledug, Joglo, Meruya, Bekasi, dan Depok," jelasnya.
Akhir tahun ini, Rio menargetkan bisnisnya berkembang menjadi 20 gerobak. Ia optimistis karena didukung pula oleh Kementerian Perdagangan. Salah satu dukungannya adalah keikutsertaan dalam pameran franchise di JCC ini.
Nama Lik No diambil dari istilah Jawa, yaitu dielikna, yang dalam bahasa Indonesia berarti "diingatkan". Nama angkringan Rio, "Lik No", maksudnya adalah agar pembeli ingat akan angkringan ini.
"Maksudnya Lik No itu dielikna, yang artinya diingatkan supaya selalu ingat dengan kami. Di Jakarta, orang sukanya nongkrong di Sevel. Kalau di Jogja itu, ayo ketemu di angkringan, hehehe," lanjutnya.
Selain maksud "mengingatkan" rupanya ada hal penting sehingga Rio memilih "Lik No" sebagaibrand bisnis angkringannya. Ayah Rio bernama Sunarno, sementara ibunya bernama Retno.
"Jadi, sepupu saya itu manggilnya Lik No, Lik No," tuturnya. Angkringan, yang dalam bahasa Jawa berarti duduk bersantai, menjadi tempat berkumpul tanpa strata, tanpa batas kelas sosial ekonomi.
Di situ, lanjut Rio, pembeli bisa berasik masyuk ngobrol, mulai dari masalah rumah tangga, ekonomi, politik, pekerjaan, sampai pelajaran bagi yang masih kuliah.
Rio pun bercerita pengalaman pertamanya saat membuka gerobak ketika Sabtu sore pada 2011. Pelanggan pertamanya adalah orang China, yang turun dari mobil CRV. "Bahwa artinya tidak ada strata di angkringan, kalau ditanya segmen, semua orang segmen kita," ujarnya.
Tak Muluk-muluk, bisnis angkringan Rio kini berbentuk franchise. Mitra bisnis bisa mengawali usahanya dengan start up sebesar Rp 15 juta. Namun, dalam pameran franchise di JCC, Rio memberikan potongan Rp 5 juta.
Dari analisis bisnisnya, diperkirakan mitra bisa mencapai break event point (BEP) pada bulan keenam hingga ke delapan. "Kita ajarkan mitra enggak muluk-muluk. Kita target omzet minimal Rp 300.000 per hari. Kalau masak sendiri, nett bisa Rp 1,5-Rp 2,5 juta," aku Rio.
Meski menyediakan masakan jadi (kecuali nasi dan gorengan) untuk wilayah Jakarta, Rio selalu menekankan agar mitra bisa memasak sendiri. Adapun fasilitas yang didapatkan mitra dengan modal awal Rp 15 juta itu antara lain, gerobak dan perlengkapannya, media promosi, training,standar operasi perusahaan, serta pendampingan.
Untuk menjaga standar rasa agar seragam, franchise Rio menyediakan bahan baku berupa bumbu inti. Ada tiga bumbu inti yang bisa dibeli mitra, yakni bumbu bacem, bumbu bacem pedas, serta sambal.
Mitra usaha juga diperkenankan menambah menu sesuai dengan tema dan konsep angkringan, tetapi tidak boleh menambah menu yang sangat jauh berbeda dari gaya angkringan seperti, sebut Rio, kebab, dan bubble drink.
"Lokasi usaha, saya sarankan, dan gerobak saya sendiri juga menyewa, di depan bengkel motor, karena hanya buka siang, atau bisa juga di depan toko material, kantor notaris, atau toko-toko lain yang hanya buka siang hari. Perkiraan sewa Rp 500.000 per bulan," terang Rio.
"Akan lebih murah lagi di tempat khusus PKL, paling cuma bayar retribusi per bulan Rp 200.000," pungkasnya
Tak seperti umumnya angkringan, Angkringan Sego Kucing "Lik No" punya kekhasan lain. Jika selama ini angkringan identik dengan tempat makan dengan cahaya temaram, tidak bagi Satrio Adi Nugroho, si juragan.
"Biasanya, kalau angkringan pasti remang-remang. Kita concern ke makanan tradisional tapipingin konsepnya beda, pingin terang, bersih, higienis, karena kita hidup di zaman modern. Tapi, rasa basic harus tetap ada," tutur pria yang akrab dipanggil Rio itu saat ditemuiKompas.com di Jakarta Convention Center (JCC), di Jakarta, Minggu (8/9/2013).
Awal mula membuka usaha angkringan, pada 2011, Rio berkisah soal kerinduannya akan kampung halamannya di Yogyakarta, termasuk pada angkringan. Lulusan jurusan manajemen Universitas Atmajaya Yogyakarta itu hijrah ke Jakarta pada 2004. "Pertama kali hijrah di Jakarta, saya mikir, kenapa ada yang kurang," ucapnya.
Rio mengatakan, bagi mereka yang sudah mengenal dan pernah bersekolah di Yogyakarta, angkringan adalah suatu hal yang tidak asing. "Kita rindu, kita pingin lagi ke angkringan. Jadi, kenapa angkringan, karena satu, saya hobi ngangkring, kedua saya suka makan. Jadi, pinginsuatu saat harus punya," jelasnya.
Sebelum cita-citanya terlaksana dua tahun yang lalu, Rio pernah bekerja untuk beberapa perusahaan. Salah satunya menjadi staf internal audit di sebuah perusahaan ritel ternama, yang terletak di kawasan Tanah Abang.
Tak hanya di satu tempat, ia mengatakan pernah berpindah-pindah pekerjaan sepanjang 2004 hingga 2011. Rio pernah mencoba peruntungan menjadi pengusaha dengan membuka jasalaundry. Namun, ternyata menjadi pengusaha laundry juga bukan jalannya.
"Akhirnya saya niat, setelah gagal laundry, harus ada gantinya, dan dibukalah angkringan. Pertamanya saya beli satu gerobak itu harga Rp 2 juta, ditambah yang lain-lain jadi sekitar Rp 3-Rp 4 juta," ujar Rio.
Bulan pertama, Rio hanya dibantu oleh satu juru masak dan satu tenaga penjual. Bisnis kuliner yang satu ini tampaknya berjalan mulus. Pada bulan kedua, Rio sudah menambah satu lagi gerobak.
"Bulan ketiga saya bikin dapur, bulan kelima saya nambah gerobak lagi, dan bulan keenam ada teman yang mau join," terangnya.
Pada bulan keenam itulah, Rio memiliki empat gerobak, tiga di antaranya dikelola pribadi, satu dikelola mitra. Saat ini, jumlah Angkringan Sego Kucing "Lik No" mencapai 10 gerobak dan akan tambah lima gerobak lagi yang dikelola mitra.
"Gerobak pertama sekarang masih ada di belakang Summarecon, yang lainnya ada di Ciledug, Joglo, Meruya, Bekasi, dan Depok," jelasnya.
Akhir tahun ini, Rio menargetkan bisnisnya berkembang menjadi 20 gerobak. Ia optimistis karena didukung pula oleh Kementerian Perdagangan. Salah satu dukungannya adalah keikutsertaan dalam pameran franchise di JCC ini.
Nama Lik No diambil dari istilah Jawa, yaitu dielikna, yang dalam bahasa Indonesia berarti "diingatkan". Nama angkringan Rio, "Lik No", maksudnya adalah agar pembeli ingat akan angkringan ini.
"Maksudnya Lik No itu dielikna, yang artinya diingatkan supaya selalu ingat dengan kami. Di Jakarta, orang sukanya nongkrong di Sevel. Kalau di Jogja itu, ayo ketemu di angkringan, hehehe," lanjutnya.
Selain maksud "mengingatkan" rupanya ada hal penting sehingga Rio memilih "Lik No" sebagaibrand bisnis angkringannya. Ayah Rio bernama Sunarno, sementara ibunya bernama Retno.
"Jadi, sepupu saya itu manggilnya Lik No, Lik No," tuturnya. Angkringan, yang dalam bahasa Jawa berarti duduk bersantai, menjadi tempat berkumpul tanpa strata, tanpa batas kelas sosial ekonomi.
Di situ, lanjut Rio, pembeli bisa berasik masyuk ngobrol, mulai dari masalah rumah tangga, ekonomi, politik, pekerjaan, sampai pelajaran bagi yang masih kuliah.
Rio pun bercerita pengalaman pertamanya saat membuka gerobak ketika Sabtu sore pada 2011. Pelanggan pertamanya adalah orang China, yang turun dari mobil CRV. "Bahwa artinya tidak ada strata di angkringan, kalau ditanya segmen, semua orang segmen kita," ujarnya.
Tak Muluk-muluk, bisnis angkringan Rio kini berbentuk franchise. Mitra bisnis bisa mengawali usahanya dengan start up sebesar Rp 15 juta. Namun, dalam pameran franchise di JCC, Rio memberikan potongan Rp 5 juta.
Dari analisis bisnisnya, diperkirakan mitra bisa mencapai break event point (BEP) pada bulan keenam hingga ke delapan. "Kita ajarkan mitra enggak muluk-muluk. Kita target omzet minimal Rp 300.000 per hari. Kalau masak sendiri, nett bisa Rp 1,5-Rp 2,5 juta," aku Rio.
Meski menyediakan masakan jadi (kecuali nasi dan gorengan) untuk wilayah Jakarta, Rio selalu menekankan agar mitra bisa memasak sendiri. Adapun fasilitas yang didapatkan mitra dengan modal awal Rp 15 juta itu antara lain, gerobak dan perlengkapannya, media promosi, training,standar operasi perusahaan, serta pendampingan.
Untuk menjaga standar rasa agar seragam, franchise Rio menyediakan bahan baku berupa bumbu inti. Ada tiga bumbu inti yang bisa dibeli mitra, yakni bumbu bacem, bumbu bacem pedas, serta sambal.
Mitra usaha juga diperkenankan menambah menu sesuai dengan tema dan konsep angkringan, tetapi tidak boleh menambah menu yang sangat jauh berbeda dari gaya angkringan seperti, sebut Rio, kebab, dan bubble drink.
"Lokasi usaha, saya sarankan, dan gerobak saya sendiri juga menyewa, di depan bengkel motor, karena hanya buka siang, atau bisa juga di depan toko material, kantor notaris, atau toko-toko lain yang hanya buka siang hari. Perkiraan sewa Rp 500.000 per bulan," terang Rio.
"Akan lebih murah lagi di tempat khusus PKL, paling cuma bayar retribusi per bulan Rp 200.000," pungkasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar