TREN kuliner Bandung patah tumbuh hilang berganti seperti sebuah pacuan sensasi cita rasa yang cepat memunculkan pemain baru. Dari adu baru yang tanpa putus itu, selalu ada kisah para pebisnis kuliner yang sukses mengolah ulang menu-menu klasik kudapan Sunda menjadi penganan baru.
Puluhan anak muda memenuhi dua lantai kafe di Jalan Setiabudi, Bandung. Dari pusat kota Bandung menuju Lembang, kafe ini berada di sisi kiri jalan, di sekitar Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung yang populer dengan nama NHI (dibaca En-hai).
Minuman ringan dan live music yang membuat tubuh bergoyang menjadi warna di tempat itu setiap malam. Namun, ada yang berbeda di kafe yang oleh pemiliknya diberi nama warung, yaitu Waroeng Setia Budi ini.
Alih-alih makanan Barat, seperti piza, nachos, atau kentang goreng, yang biasa menjadi cemilan di kafe, warung ini menyajikan menu tradisional, surabi. Ya, surabi, penganan zaman kakek moyang dulu.
Kue yang dalam bahasa Indonesia disebut serabi ini berbahan utama tepung beras dan santan, dicetak dalam wajan kecil dari tanah liat, dibakar dengan kayu atau batok kelapa. Cara memasak yang tradisional itu dipertahankan Waroeng Setia Budi. Pengunjung yang ingin melihat cara pembuatannya bisa melihatnya di bagian depan warung.
Suasana restoran Braga Permai dengan Menu khasnya seperti Beef Steak ala Braga Permai, Huzarensla, Bitter Ballen, serta es krim Winner Melange. Restoran Braga Permai merupakan restoran yang ada sejak zaman Belanda yang bertahan hingga kini dengan menyajikan masakan ala Belanda.Bedanya dan itulah yang menjadikan Waroeng Setia Budi magnet bagi banyak orang, surabi di warung itu memiliki beragam lumuran atau topping layaknya jenis lumuran piza. Surabi bercita rasa manis punya variasi lumuran kismis, keju susu, surabi yang disiram fla durian, surabi pisang cokelat susu, dan saus jus buah- buahan. Untuk surabi bercita rasa asin, pembeli bisa memilih lumuran telur, keju, sosis, daging ayam, dan masih banyak lagi.
Buat yang ingin menerima lebih banyak kejutan, boleh memesan surabi yang disajikan dalam hotplate. Seperti penyajian steak, Surabi Ciken Stik Saos Blek Peper (namanya ditulis sesuai pelafalannya) adalah surabi yang diberi telur, bawang bombai, dan chicken katsu serta disiram saus lada hitam. Karena beralaskan piring besi panas dengan saus berwarna coklat, surabi pun mendidih ketika disajikan.
Menjebol pakem
Manajer Operasional Waroeng Setia Budi Hendra Permana tak menampik bahwa tempat yang dikelolanya bukanlah perintis surabi versi modern. Dia dan rekan bisnisnya hanya mengikuti selera anak muda Bandung yang tiba-tiba kembali menikmati santapan ”jadul” itu. Adalah Surabi Enhai yang pertama kali memodifikasi surabi sehingga kembali digilai anak muda Bandung.
”Kami mengikuti selera anak muda Bandung dengan menawarkan lebih banyak variasi rasa surabi. Kami meraih perhatian dengan lebih banyak pilihan menu surabi,” ujar Hendra.
Surabi bukan satu-satunya kudapan ”jadul” yang kembali digandrungi gara-gara kepiawaian penjaja kuliner mengutak-atik pakemnya. Rumus melabrak pakem malah sudah jadi jurus baku pebisnis kuliner sejak dulu. Tahun 1930, Bandung melahirkan kudapan baru bernama unik, colenak, hasil utak-atik peuyeum (tape) oleh Aki Murdi.
Pedagang melayani pembeli Peuyeum di kawasan Cibaduyut, Bandung, jawa Barat, Jumat (5/7/2013). Tape yang menjadi makanan khas Sunda ini telah ada sejak dulu dan tetap digemari hingga kini. Peuyeum kini diolah menjadi aneka makanan.Colenak, nama kudapan berupa peuyeum bakar yang disantap dengan dicocolkan gula kelapa cair, lekat di kepala sebagai ringkasan dari frase dicocol enak. Hingga kini, Colenak Murdi Putra bisa didapati di lokasi awal Aki Murdi berjualan, Jalan Ahmad Yani, Bandung. Bisnis yang dijalankan Bety Nuraety (41) itu terwarisi selama tiga generasi dan setiap generasi pasti melahirkan modifikasi baru atas colenak rekaan Aki Murdi.
”Kemasannya diubah, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Modifikasi rasa selalu dilakukan dan hingga kini kami telah memunculkan tiga rasa colenak. Aki Mardi menghadirkan colenak klasik, yang mempertahankan cita rasa peuyeum asli dibakar dan gula kelapa cair. Ibu saya, Supiah (74), menghadirkan colenak rasa durian. Saya menambahinya dengan colenak rasa nangka,” ujar Bety.
Tidak aneh jika tumbuh kembang kuliner di Bandung selalu diwarnai kocok ulang dan pendobrakan pakem aneka kudapan tradisional. ”Aneka kreasi makanan semakin bermunculan setelah krisis moneter 1997 menghasilkan ledakan pebisnis kuliner Bandung. Segala jenis makanan lama diolah ulang dan makanan asing pun bermunculan,” ujar Ibrahim, warga penggiat Komunitas Kuliner Bandung.
Cemilan dari pinggir jalan, seperti cilok (aci dicolok) dan cireng (aci digoreng), bisa jadi contoh. Kalau cilok dulunya melulu aci tanpa isi, kini cilok diberi jeroan, seperti keju, daging ayam, dan kornet. Varian lainnya adalah cimol (dari ujaran aci di-gemol alias dikulum). Cimol disantap dengan beragam perasa dan saus, meninggalkan langgam cilok yang melulu berbumbu kacang.
Kocok ulang menu lawas yang heboh mungkin hasil utak-atik keripik singkong. Tahun 2010 dan 2011, keripik singkong tiba-tiba menjadi salah satu makanan paling diburu warga Bandung dan wisatawan gara-gara modifikasi level kepedasan dan model pemasaran yang mengandalkan jejaring media sosial, seperti Twitter. Tren pedas bertingkat ini kemudian menular pada cemilan lain, seperti keripik tempe, mi lidi (mi berbentuk stik setipis lidi), dan abon.
Bandung masih punya sederet makanan yang pernah menjadi tren, seperti martabak hitam, yaitu martabak yang berwujud hitam karena adonannya dicampur cokelat bubuk. Beberapa minuman tradisional tak luput dari utak-atik para pebisnis kuliner, memunculkan varian, seperti bajigur duren (bajigur yang dicampur duren) dan sup buah (sirup dengan campuran buah-buahan hingga belasan jenis) yang popularitasnya menembus ke beragam kota lain.
Makin bersaing
Ali Bagus Antra Suantara, pemilik rumah makan Bebek Garang yang juga mengolah ulang sajian bebek goreng, menyebutkan, anak muda menjadi motor kreativitas orang Bandung mencipta berbagai kuliner. Ali, yang juga menjadi bagian dari Asosiasi Kafe dan Restoran Bandung, menyebutkan, para anak muda Bandung begitu kreatif dan percaya diri memunculkan jenis makanan dan kudapan baru sehingga arena pertarungan para pebisnis kuliner di Bandung kian melebar.
Menyajikan colenak di Restoran Colenak Murdi Putra Bandung.
”Dulu, Jalan Ir H Juanda atau yang lebih dikenal dengan wilayah Dago menjadi lokasi emas untuk bisnis kuliner. Sekarang, kompetisi para pebisnis kuliner telah melebar,” ujar Ali.
Adu baru kuliner Bandung sepertinya bakal berlanjut tanpa putus. Kompetisi yang kian keras pastilah memeras setiap daya kreatif para pebisnis kuliner untuk menemukan ”yang baru”. Sebagai kota wisata dan punya anak-anak muda kreatif, ”adu baru” kuliner Bandung tak akan pernah mati. (Aryo Wisanggeni dan Yulia Sapthiani)
Puluhan anak muda memenuhi dua lantai kafe di Jalan Setiabudi, Bandung. Dari pusat kota Bandung menuju Lembang, kafe ini berada di sisi kiri jalan, di sekitar Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung yang populer dengan nama NHI (dibaca En-hai).
Minuman ringan dan live music yang membuat tubuh bergoyang menjadi warna di tempat itu setiap malam. Namun, ada yang berbeda di kafe yang oleh pemiliknya diberi nama warung, yaitu Waroeng Setia Budi ini.
Alih-alih makanan Barat, seperti piza, nachos, atau kentang goreng, yang biasa menjadi cemilan di kafe, warung ini menyajikan menu tradisional, surabi. Ya, surabi, penganan zaman kakek moyang dulu.
Kue yang dalam bahasa Indonesia disebut serabi ini berbahan utama tepung beras dan santan, dicetak dalam wajan kecil dari tanah liat, dibakar dengan kayu atau batok kelapa. Cara memasak yang tradisional itu dipertahankan Waroeng Setia Budi. Pengunjung yang ingin melihat cara pembuatannya bisa melihatnya di bagian depan warung.
Buat yang ingin menerima lebih banyak kejutan, boleh memesan surabi yang disajikan dalam hotplate. Seperti penyajian steak, Surabi Ciken Stik Saos Blek Peper (namanya ditulis sesuai pelafalannya) adalah surabi yang diberi telur, bawang bombai, dan chicken katsu serta disiram saus lada hitam. Karena beralaskan piring besi panas dengan saus berwarna coklat, surabi pun mendidih ketika disajikan.
Menjebol pakem
Manajer Operasional Waroeng Setia Budi Hendra Permana tak menampik bahwa tempat yang dikelolanya bukanlah perintis surabi versi modern. Dia dan rekan bisnisnya hanya mengikuti selera anak muda Bandung yang tiba-tiba kembali menikmati santapan ”jadul” itu. Adalah Surabi Enhai yang pertama kali memodifikasi surabi sehingga kembali digilai anak muda Bandung.
”Kami mengikuti selera anak muda Bandung dengan menawarkan lebih banyak variasi rasa surabi. Kami meraih perhatian dengan lebih banyak pilihan menu surabi,” ujar Hendra.
Surabi bukan satu-satunya kudapan ”jadul” yang kembali digandrungi gara-gara kepiawaian penjaja kuliner mengutak-atik pakemnya. Rumus melabrak pakem malah sudah jadi jurus baku pebisnis kuliner sejak dulu. Tahun 1930, Bandung melahirkan kudapan baru bernama unik, colenak, hasil utak-atik peuyeum (tape) oleh Aki Murdi.
”Kemasannya diubah, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Modifikasi rasa selalu dilakukan dan hingga kini kami telah memunculkan tiga rasa colenak. Aki Mardi menghadirkan colenak klasik, yang mempertahankan cita rasa peuyeum asli dibakar dan gula kelapa cair. Ibu saya, Supiah (74), menghadirkan colenak rasa durian. Saya menambahinya dengan colenak rasa nangka,” ujar Bety.
Tidak aneh jika tumbuh kembang kuliner di Bandung selalu diwarnai kocok ulang dan pendobrakan pakem aneka kudapan tradisional. ”Aneka kreasi makanan semakin bermunculan setelah krisis moneter 1997 menghasilkan ledakan pebisnis kuliner Bandung. Segala jenis makanan lama diolah ulang dan makanan asing pun bermunculan,” ujar Ibrahim, warga penggiat Komunitas Kuliner Bandung.
Cemilan dari pinggir jalan, seperti cilok (aci dicolok) dan cireng (aci digoreng), bisa jadi contoh. Kalau cilok dulunya melulu aci tanpa isi, kini cilok diberi jeroan, seperti keju, daging ayam, dan kornet. Varian lainnya adalah cimol (dari ujaran aci di-gemol alias dikulum). Cimol disantap dengan beragam perasa dan saus, meninggalkan langgam cilok yang melulu berbumbu kacang.
Kocok ulang menu lawas yang heboh mungkin hasil utak-atik keripik singkong. Tahun 2010 dan 2011, keripik singkong tiba-tiba menjadi salah satu makanan paling diburu warga Bandung dan wisatawan gara-gara modifikasi level kepedasan dan model pemasaran yang mengandalkan jejaring media sosial, seperti Twitter. Tren pedas bertingkat ini kemudian menular pada cemilan lain, seperti keripik tempe, mi lidi (mi berbentuk stik setipis lidi), dan abon.
Bandung masih punya sederet makanan yang pernah menjadi tren, seperti martabak hitam, yaitu martabak yang berwujud hitam karena adonannya dicampur cokelat bubuk. Beberapa minuman tradisional tak luput dari utak-atik para pebisnis kuliner, memunculkan varian, seperti bajigur duren (bajigur yang dicampur duren) dan sup buah (sirup dengan campuran buah-buahan hingga belasan jenis) yang popularitasnya menembus ke beragam kota lain.
Makin bersaing
Ali Bagus Antra Suantara, pemilik rumah makan Bebek Garang yang juga mengolah ulang sajian bebek goreng, menyebutkan, anak muda menjadi motor kreativitas orang Bandung mencipta berbagai kuliner. Ali, yang juga menjadi bagian dari Asosiasi Kafe dan Restoran Bandung, menyebutkan, para anak muda Bandung begitu kreatif dan percaya diri memunculkan jenis makanan dan kudapan baru sehingga arena pertarungan para pebisnis kuliner di Bandung kian melebar.
Adu baru kuliner Bandung sepertinya bakal berlanjut tanpa putus. Kompetisi yang kian keras pastilah memeras setiap daya kreatif para pebisnis kuliner untuk menemukan ”yang baru”. Sebagai kota wisata dan punya anak-anak muda kreatif, ”adu baru” kuliner Bandung tak akan pernah mati. (Aryo Wisanggeni dan Yulia Sapthiani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar