Rabu, 23 Januari 2013

Wisata Lompat Pulau di NTT


KOMPAS.com - Bagi Anda yang belum pernah ke Pulau Flores atau Nusa Tenggara Timur (NTT), pergilah terbang ke sana. Bisa dimulai dengan turun di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Nama Sikka terkenal dengan tenun ikat Sikka. Di pantai pinggir laut kota ini bersusun rumah-rumah pondok. Di situ ibu-ibu tampak menenun dengan cara tradisional yang tak berubah dari ratusan tahun.

Setiap tur ke Komodo selesai, baiknya diakhiri dengan tur keliling sekitar kota, lalu dihibur dengan performance musik dan tari tradisional.
-- Konradus Jeladu
Menenun ikat memang merupakan salah satu kegiatan sehari-hari dan menjadi mata pencaharian utama. Dan, dewasa ini sedang berlangsung satu program yang didisain oleh masyarakat: mewariskan pada orang-orang muda tradisi menenun.
Bersamaan itu, juga semacam ’gerakan’ membuat orang muda agar menyenangi dan meneruskan warisan tradisi-tradisi seni budaya, dari musik hingga tari-tarian tradisional.
Berbelanja kain tenun ikat Sikka bisa dilakukan di banyak tempat di daerah ini. Di tempat-tempat pantai di mana mereka menenun, di situ juga dipajang bergantungan pada tali memanjang, seperti jemuran, hasil-hasil tenun ikat itu. Tiap lembar ada yang dikerjakan dalam sebulan, dua bulan, atau bahkan lebih. Makin lama jumlah hari pengerjaannya, harga jualnya makin tinggi.
Dari Maumere dengan mobil, akan mencapai danau tiga warna yang sudah lama terkenal lantaran selalu dipromosikan: Kelimutu. Rasanya sudah tiga puluh tahun lebih Danau Kelimutu selalu ditampilkan di setiap brosur, iklan, bahkan buku-buku pariwisata. Sekitar tiga setengah jam sampailah kita di satu pelataran parkir.
Dinamai Taman Parkir Casuarina Loka, luasnya bisa memuat 20 mobil dan 30 sepeda motor. Di situ ada yang disebut sebagai pendopo, shelter untuk istirahat dan toilet. Memang, yang disebut pendopo, shelter dan toilet ini tampak sekadar pondok berkisar 2 x 2,5 meter, seperti ringkih sudah terlalu tua.
Di situ seorang ibu berjualan minuman kemasan kaleng atau botol, minuman kopi atau teh hangat dari air termos, nyaris tak ada tempat duduk untuk isitirahat, tapi di situ pula kembali kain-kain tenun ikat digantung sekadarnya: itu barang jualan. Dan harganya per kain bergerak dari Rp 150.000 sampai Rp 400.000.
Ketika itu kita teringat di dunia pariwisata pun diperlukan empati: andaikan kita adalah wisman. Tiba di tempat atau destinasi yang sudah ’kesohor’, biasanya turis disambut oleh satu bangunan dengan ruangan selamat datang; bisa melihat selintas informasi tentang Danau Kelimutu, biasanya juga tersedia maket atau peta situasi.
Kalau pun ada barang suvenir semacam kain tenun ikat, tentulah tersajikan rapih dengan etalase yang enak dipandang mata. Bangunan yang berfungsi welcoming terhadap tamu yang datang berkunjung, niscaya bukan memerlukan yang mewah. Rapi, bersih, berwarna yang ramah, dan petugas atau penjual barang di situ pun ramah serta antusias berkomunikasi dengan tamu pendatang. Jadi, pintu gerbang Kelimutu memerlukan suasana semacam itu.
Dari taman parkir, wisatawan dipandu oleh guide lokal, berjalan mendaki santai sekitar sekilometer menuju puncak Gunung Kelimutu. Puncak itu disebut Inspiration Point. Sejak dari kota Maumere hingga ke puncak Gunung Kelimutu, kemudian ketika sudah berada di Labuan Bajo, setiap kali berkomunikasi dengan penduduk, keramahtamahan masyarakat berbicara selalu menyejukkan di telinga kita.
Sepanjang perjalanan darat di Pulau Flores, hijaunya lingkungan memperlihatkan sumber daya alam yang subur. Anda dapat turun sejenak di beberapa lokasi di perjalanan untuk menyaksikan pohon kakao alias pohon buah cokelat, pohon jambu mente, pohon buah kemiri. Sebagian wisatawan memang turun lalu menyentuh pohon dan buah cokelat itu dengan jari tangan sendiri.
Wisman memang adakalanya memilih over-land tour dari Maumere sampai Labuan Bajo. Durasi tur tersebut antara lima sampai tujuh hari. Di tengah perjalanan menginap di Ende dan di Bajawa.
Ada juga yang sebelumnya berkunjung ke Larantuka, biasanya bersifat wisata religi. Tur religi Katolik ke kota Larantuka di Kabupaten Flores Timur sudah lumayan dikenal di dunia pariwisata.
Labuan Bajo
Kota pesisir ini sungguh memerlukan empati pula. Wisatawan yang datang niscaya bertujuan hendak melihat komodo. Biasanya berangkat pagi-pagi sekitar pukul enam, dua jam kemudian sudah tiba di Pulau Komodo atau Rinca. Maka, total tur menyaksikan Komodo itu pun cukup dengan menghabiskan waktu setengah hari.
Sebelum sore, tur berakhir dan tiba kembali di Labuan Bajo. Kecuali, ada wisatawan yang memilih menginap di atas boat, berarti, durasi turnya adalah dua hari satu malam. Ada juga sea tours yang dengan boat mengelilingi pulau-pulau kecil yang seakan ditaburkan di atas laut off shore dari Labuan Bajo.
Ketika tur ke komodo usai, terasalah kekosongan acara. Nyaris tidak tersedia kegiatan yang bisa ‘menarik hati’ dan ‘dinikmati’ oleh wisatawan. Bagusnya, di antara pelaku pariwisata di Labuan Bajo, dewasa ini sedang berwacana ingin menghidupkan sanggar-sanggar seni budaya. Dimaklumi, Pulau Flores ternyata menyimpan beragam potensi untuk diolah menjadi art and culture show performance.
Konradus Jeladu, salah seorang yang saat ini sedang bersusah payah menghidupkan sanggar seni budayanya, sudah mencoba merealisasikan wawasan itu. Beberapa kali hotel berbintang di kawasan pantai itu mengundang grup dari sangggarnya untuk memenuhi permintaan wisatawan atau acara MICE.
“Satu kelompok tari dan musik dari anak-anak didik dan anggota saya biasanya berjumlah 20 orang untuk satu pertunjukan,” kata dia.
Mestinya, dari pengalamannya 30 tahun menjalani profesi tour guide, Konradus bersama sesama pelaku pariwisata melihat situasi yang mendesak akan kebutuhan kegiatan acara penyajian musik, tari, dari seni budaya lokal, yang dilekatkan dengan acara sightseeing dan shopping di sekitar kota kecil Labuan Bajo itu.
“Setiap tur ke Komodo selesai, baiknya diakhiri dengan tur keliling sekitar kota, lalu dihibur denganperformance musik dan tari tradisional, tentu setelah dikemas secara profesional, lalu shopping, sampai relaksasi,” kata Konradus.
Akan halnya acara rileks di pantai Labuan Bajo itu, diterobos oleh Matheus Siagian, seorang pengusaha muda yang baru enam bulan ini mengoperasikan sebuah kafe berlantai tiga, bangunan sederhana tetapi kokoh dan ‘berseni’ dari kayu-kayu lokal, terbuka menghadap ke laut. Dia namakan restorannya TreeTop, jika perlu bisa menerima sampai 80–100 tamu sekaligus.
“Wisatawan itu duduk-duduk santai di sini, ada yang makan, atau sekadar minum, memandangi laut yang indah dengan tebaran pulau-pulau, seraya berbincang-bincang. Pokoknya santailah dan mereka mengisi waktu di tempat ini,” kata Matheus. (Arifin Hutabarat)

Menengok Museum Goedang Ransoem di Sawahlunto


KOMPAS.com - WH de Greeve, seorang ahli geologi Belanda sekaligus ‘Sang Penemu’ batu bara di Sawahlunto tahun 1868 memperkirakan ada lebih dari 200 juta ton kandungan mutiara mitam atau batu bara di Sawahlunto.
Inilah yang  Pemerintah Hindia Belanda berikutnya menanamkan modal sekitar 5,5 juta gulden untuk membangun pemukiman dan fasilitas penambangan Ombilin.  Kemudian dibangunlah jalur kereta api Sawahlunto ke Teluk Bayur di Kota Padang (saat itu bernama Emma Haven) dan juga didatangkan peralatan penambangan langsung dari Jerman.
Museum ini berbeda dengan museum umumnya yang ada di Indonesia. Apa bedanya? Kita temukan cerita menariknya.
“Memahami masa silam untuk menata masa depan”. Itulah sebuah tulisan sarat makna terpampang tepat di samping pintu masuk Museum Goedang Ransoem. Tulisan tersebut seakan menjadi awal dibukanya pengetahuan baru bagi Anda saat berkunjung ke tempat luar biasa ini.
Museum Goedang Ransoem berlokasi di Jalan Abdul Rahman Hakim, Kelurahan Air Dingin, Sawahlunto, Sumatera Barat. Lokasi museum ini sekitar 94 kilometer atau 2 jam perjalanan dengan kendaraan dari Kota Padang, Sumatera Barat.
Kota Sawahlunto dulunya dikenal sebagai penghasil batu bara terbesar di Nusantara. Dari kota inilah Pemerintah Hindia Belanda meraup keuntungan amat besar sebagai sebuah eksekusi nyata dari ‘penjajahan’. Akan ada kesan dan pengalaman berharga dari Sawahlunto bagi Indonesia untuk anak cucu di masa akan datang.
Museum Goedang Ransoem sendiri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pertambangan di Sawahlunto. Koleksi museumnya berjumlah 150 buah, itu belum termasuk koleksi foto lama yang berjumlah lebih dari 250 buah.
Untuk melihat peralatan dapur mungkin hal biasa tetapi bagaimana bila Anda melihat koleksi peralatan dapur yang berukuran raksasa? Nah, Anda dapat melihatnya di Museum Goedang Ransoem.
Awalnya gedung Museum Goedang Ransoem adalah kawasan dapur umum bagi pekerja tambang yang dibangun tahun 1881. Tempat ini memiliki dua buah gudang besar dan tungku pembakaran (steam generator). Tempat ini mempekerjakan sekitar 100 orang karyawan dan setiap harinya memasak lebih dari 65 pikul nasi atau setara 3.900 kilogram nasi untuk pekerja tambang batubara (orang rantai), keluarga pekerja tambang (orang kawalan), dan pasien rumah sakit.
Menu makanannya saat itu adalah nasi, daging, ikan asin, telur asin, sawi putih dan hijau, serta kol. Makanan tersebut diberikan pada siang dan malam hari. Untuk sarapannya pukul 10 pagi berupa lapek-lapek, dibuat dari beras ketan merah dibubuhi kelapa serta gula merah dan dibungkus daun pisang. Untuk minumannya adalah teh.
Pada masa saat itu, menu makanan tersebut terbilang cukup baik mengingat Pemerintah Hindia Belanda berkepentingan agar pekerja tambang (pekerja kontrak dan pekerja paksa orang rantai) dapat produktif sehingga menghasilkan keuntungan besar untuk pemerintah. Saat ini Anda dapat melihat replika bentuk makanan tersebut di museum ini.
Bahan bakar memasaknya saat itu menggunakan sistem uap dimana tepat di bawah ruang masak terdapat ruang bawah tanah dengan pipa cerobong yang mengalirkan uap panas untuk 20 tungku. Uap panas ini berasal dari air panas yang direbus dengan menggunakan boiler di atas perbukitan yang dialirkan uapnya ke dapur.
Gedung Museum Goedang Ransoem sempat menjadi tempat aktivitas memasak untuk tentara dalam skala besar pada masa Pendudukan Jepang hingga Agresi Belanda II. Di masa revolusi kemerdekaan, kawasan ini digunakan sebagai tempat memasak makanan tentara.
Setelah kemerdekaan sempat digunakan sebagai kantor Perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin, gedung SMP Ombilin (1960-1970), hunian karyawan Tambang Batu Bara Ombilin (sampai 1980), dan juga hunian masyarakat setempat hingga 2004.
Berikutnya pada 2005 kawasan ini dikonservasi dan ditata pemerintah Kota Sawahlunto untuk acara permuseuman hingga 17 Desember 2005 dibuka resmi oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla.
Harga tiket masuk museum ini adalah Rp 4.000 untuk dewasa, dan Rp 2.000 untuk anak-anak. Jam aktif kunjungan museum ini adalah pada Selasa hingga Jumat 07.30-16.30, Sabtu dan Minggu 09.00-16.00.

Mahoro, Pulau Nirwana yang Menanti Sentuhan


MANADO, KOMPAS.com - Jika menyebut destinasi wisata bahari di Sulawesi Utara, Taman Laut Bunaken pasti menjadi nomor satu. Padahal banyak site wisata bahari tersebar di kabupaten-kabupaten Nusa Utara yang tidak kalah indahnya.
Nusa Utara adalah wilayah yang mencakup tiga kabupaten kepulauan di bagian ujung utara Sulawesi. Ketiga kabupaten kepulauan itu antara lain Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Dulunya tiga kabupaten ini tergabung dalam Kabupaten Sangihe Talaud sebelum dimekarkan.
Di Kabupaten Sitaro sendiri tersimpan banyak potensi wisata bahari, salah satunya adalah Pulau Mahoro dan pulau-pulau disekitarnya. Pulau Mahoro merupakan pulau kecil yang berada dalam cluster Buhias. Sebuah pulau nan eksotis dengan pasir putihnya yang begitu mempesona.
Cluster Buhias sendiri merupakan cluster yang terdiri dari rangkaian beberapa pulau seolah tercampakkan di lautan yang mengepungnya. Beberapa pulau sebagian tak berpenghuni, termasuk Pulau Mahoro. Demikian pula pulau-pulau karang lainnya yang menonjol ke permukaan laut, juga tak berpenduduk.
Pulau Mahoro sendiri merupakan titik paling timur dari cluster Buhias, sehingga menjadikan pulau ini semacam benteng bagi pulau-pulau lainnya. Salah satu sisinya langsung berhadapan dengan lautan bebas yang membuat dinding-dinding batunya terhantam ombak. Sementara di sisi lainnya menjadi begitu tenang, setenang air dalam kolam, karena di depannya terhampar beberapa pulau yang memagari.
Pulau indah ini menjadi tempat sangat indah untuk menikmati pemandangan Gunung Api Karangetang yang dijuluki sebagai The Real Volcano, karena aktivitasnya sepanjang tahun tersebut. Apalagi jika menanti siraman sinar sunrise ketika menerangi Karangetang. Demikian pula dari pulau Mahoro juga sangat baik untuk menanti sunset yang tenggelam di balik beberapa pulau di depannya.
Keindahan Mahoro telah mampu membuat takjub beberapa pelancong yang datang ke pulau itu. Sebut saja Travel Photographer Professional, Ebbie Vebri Adrian yang sudah mendatangi lebih dari 2.000 destinasi wisata di Indonesia.
"Jika saya diminta membuat daftar 10 pantai terbaik di Indonesia, maka pantai Pulau Mahoro masuk dalam daftar tersebut," ujarnya ketika menginjakkan kaki pertama kali di pulau Mahoro beberapa waktu lalu.

Tim Explore Indonesia Kompas TV termasuk yang dibuat kagum dengan keindahan pulau Mahoro. Hostacara itu yang sekaligus vokalis Tangga, Kamga berujar, "Ini luar biasa! pantai ini begitu indah, pasir putihnya tidak terasa panas walau siang terik. Sungguh Mahoro merupakan pantai yang sangat eksotis," ujarnya terkagum-kagum ketika melakukan pengambilan gambar di Mahoro.
Untuk menuju Mahoro dari Manado, wisatawan dapat menggunakan transportasi kapal cepat dari pelabuhan Manado menuju pelabuhan Ulu Siau dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Dari pulau Siau, wisatawan dapat menyewa speed boat dengan tarif sekitar Rp 400.000.
Sangat disarankan untuk membawa makanan dan minuman, serta perlengkapan bertenda jika berkeinginan untuk bermalam di Mahoro. Sebab pulau ini tanpa sarana apapun, karena memang tidak berpenghuni, tetapi menjadikan suasana berwisata terasa sangat alami.

Lengkapi pula dengan perlatan snorkling atau menyelam untuk menikmati keindahan bawah laut di sekitar pulau Mahoro. Jika nyali cukup besar, sempatkan untuk mencoba menelusuri gua sarang burung walet yang berada di sisi pulau. Goa tersebut sebagian terendam air. Dan di ujung sisi pulau lainnya terdapat karang bolong yang menggoda untuk dilewati. Hati-hati dengan hantaman ombak yang kadang tak terduga.

Mahoro hanyalah merupakan salah satu dari pulau-pulau eksotis yang ada di Kabupaten Sitaro dan Nusa Utara pada umumnya. Masih terdapat puluhan site wisata bahari di daerah ini. Minimnya alokasi dana membuat pengembangan destinasi wisata ini menjadi sangat lamban. Padahal jika pemerintah daerah punya kemauan yang besar, keindahan Mahoro dan pulau-pulau lainnya tidak kalah menjual dibanding dengan destinasi wisata yang sudah populer. Mereka menanti sentuhan yang serius untuk dikembangkan.

Sulut Membidik Wisatawan Rusia


MANADO, KOMPAS.com - Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) akan mempromosikan potensi pariwisata dalam pameran Golden Dolphin Moskwa, Rusia, 14-17 Februari 2013.
Dengan keikutsertaan pada pameran Golden Dolphin Rusia diharapkan kunjungan wisatawan Rusia ke Sulut meningkat.
-- Suprianda Ruru
"Dalam pameran internasional Golden Dolphin tersebut, Sulut mengikutsertakan enam industri pariwisata yang memperkenalkan potensi pariwisata," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulut, Suprianda Ruru, di Manado, Selasa (22/1/2013).
Ia mengatakan, keenam pelaku industri pariwisata yang akan menampilkan potensi Sulut yakni Kungkungan Lembeh, Tasik Ria, Talasa Manado, Minahasa Lagoon, Srogis Bunaken dan Siladen Resort.
Keenam industri pariwisata tersebut akan menampilkan berbagai potensi pariwisata daerah ini kepada masyarakat Rusia dan negara lainnya yang ikut dalam pameran tahunan tersebut.
"Dengan keikutsertaan pada pameran Golden Dolphin Rusia diharapkan kunjungan wisatawan Rusia ke Sulut akan meningkat," kata Suprianda.
Kunjungan wisatawan asing khususnya dari Rusia, menurut Suprianda, menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan.
"Terjadi kenaikan cukup tajam wisatawan Rusia yang datang ke Sulut. Nah diharapkan dengan memperkenalkan langsung ke negara tersebut melalui keikutsertaan dalam pameran ini, maka Sulut menjadi alternatif berwisata," katanya.
Suprianda yang pernah bertugas di KBRI Moskwa, mengatakan, ada banyak obyek wisata menarik di Sulut yang sebenarnya berpotensi menarik wisatawan Rusia.
"Salah satunya yang sudah dikenal yakni keindahan Taman Nasional Laut Bunaken, tetapi potensinya bukan hanya Bunaken, karena masih banyak obyek wisata yang sangat menarik dengan kekhasan masing-masing," kata Suprianda.

Ini Dia Kota Berbau Uang!


KOMPAS.com - Kalau ke kota yang satu itu, pastinya kecium deh bau duit! Begitu kebanyakan orang Perancis menyebutnya. Saya sendiri sempat dibuat heran! Kok ada sih kota bau uang? Asyik dong, begitu pikiran saya.
Kota itu bernama Biarritz, berada di daerah Pays basque, di belahan selatan barat Perancis. Orang menyebutnya Biarritz adalah ibu kota Pays basque bagian Perancis. Kota yang jadi buah bibir dari beberapa kenalan saya inilah yang menjadi salah satu tujuan liburan musim panas kami yang lalu.
Hirup pikuk kota besar tentu saja kami sukai. Namun untuk berlibur selama tujuh hari di daerah Pays basque, kota kecil, malah kampung istilahnya yang kami pilih sebagai tempat bermalam, Jatxou. Tak jauh dari kota turis, kotanya cabai, Espelette, kami menyewa sebuah vila.
Benar saja, untuk satu minggu di kampung itu, kami membayar lebih mahal dari harga yang biasa kami keluarkan untuk liburan, dengan perbandingan sebuah vila untuk luas dan fasilitas yang sama. Padahal, kota kecil yang kami pilih itu, benar-benar kecil! Sekeliling kami hanya ada beberapa rumah, dan selebihnya hanya perternakan. Penduduknya sekitar 1.000 orang.
Namun, pemandangan yang tersaji, memang tiada tara! Kalau sudah begitu, uang yang keluar rasanya menjadi tak berarti dibandingkan kecantikan alam yang diciptakan Sang Khalik secara gratis bagi umatNya.
Sebenarnya di daerah Pays basque ini banyak sekali yang bisa saya ceritakan, bahkan mungkin tak ada habisnya. Tak akan putus, karena setiap kota yang saya kunjungi rasanya patut, saya bagikan kepada para pembaca.
Pays basque memang masuk dalam dua negara. Bagian Prancis dan Spanyol, spesial kan? Dan kali ini saya akan memulainya dari bagian Perancisnya dulu. Kota Bourjois Biarritz yang saya pilih sebagai pembuka.
Dari tempat kami tinggal selama berlibur yaitu Jatxou menuju Biarritz, warna hijau mendominasi mata. Hijau karena, lebatnya pepohonan, rumput dan pegunungan yang seolah tebal dan subur akan tumbuhannya.
Apik nian, itu yang tersirat dalam hati. Apalagi rumah-rumah cantik ciri khas Pays basque, dengan jendela berwarna merah, hijau dan biru, membuat napas teralur lambat, ingin menikmati secara perlahan.
Mendekati kota Biarritz, lukisan natural yang terlewat dari kaca mobil, mulai terlihat berubah. Bangunan besar megah dan mewah (kalau menurut saya) mulai menggantikan hijaunya alam. Dan pantai dengan ombak besar yang menyambut kerlingan mata.
Kalau tadi mobil kami lancar, kini mulai tersendat mengantre karena masuk ke dalam kota Biarritz. Setelah mendapatkan tempat parkir, begitu keluar dari ruangan bawah tanah tempat mobil beristirahat, angin kencang yang menerpa tubuh kami. Angin yang tak dingin karena berasal dari laut dan suhu udara sejuk. Saat itu musim panas, tapi suhu tak lebih dari 25 derajat. Buat saya yang biasa di Perancis selatan, suhu tersebut adalah untuk musim gugur di siang hari.
Inilah Biarritz, kota yang katanya berbau uang. Pantai besar, padat dengan turis dari mancanegara. Para perselancar, berbadan gelap, akibat terbakar matahari, terlihat mempesona, berada di atas papan, meluncur, bermain dengan si ombak. Sementara para pengunjung wanita, kulit mereka yang sengaja dijemur, terlihat legam. Semakin hitam, semakin suka rasanya mereka mendapatkannya.
Kota ini bagi saya unik. Karena kemewahan dari gedung-gedung kokoh di daratannya, beragam sekali. Dekat pantai, campur baur, dari bangunan mewah peninggalan lama, bagaikan dalam dongeng pangeran dan putri mencari cinta. Namun juga berbaur dengan bangunan moderen.
Satu hal yang saya hargai, bangunan baru yang berdiri dekat pantai masih bisa diterima oleh hati. Karena kerap daerah wisata yang justru menyajikan keindahan alamnya, jadi rusak akibat gedung menjulang tanpa memikirkan segi estetik, sehingga membuat mata menjadi terganggu oleh sebuah bangunan yang hanya berlapis beton dan kaca. Tanpa memikirkan segi keindahan penampilan.
Pantai utama ‘la grand plage de Biarritz’ yang menyatu dengan kotanya. Tentu saja dari jauh saya melihatnya bagaikan sebuah kartu pos yang ditawarkan di toko-toko, bagi pengunjung untuk membagi kesenangan yang mereka dapatkan selama liburan kepada para kerabatnya, dalam sebuah tulisan.
Pemandangan yang rapat dan padat akan warna-warni, oleh payung pelindung matahari dan handuk pantai pengunjung. Tak jauh dari pantainya, berjejer beberapa kafe dan restoran. Soal harga, sudah bisa ditebak, lumayan mahal kalau menurut ukuran keuangan saya. Tapi memang menghirup secangkir kopi pahit sambil memandang laut tak berhujung, merupakan sebuah kenikmatan.
Dari pantai memang yang terlihat pertama kali adalah sebuah bangunan besar. Setelah saya dekati rupanya merupakan kasino. Tempat para manusia yang senang beradu keberuntungan. Jika beruntung, keluar bangunan itu, kantung akan lebih tebal, jika apes, meratap tentunya.
Ahhh... apa mungkin karena kasino inilah yang membuat kota Biarritz terkenal dengan sebutan kota berbau uang?
Untuk lebih jelasnya, saya pun melangkah memasuki tempat informasi turis, ditemani oleh Kang Dadang alias David dan dua anak kami.
Saya pun menjelaskan maksud kedatangan dengan menunjukkan kartu pers saya. Akhirnya seorang wanita berjas hitam keluar menemui saya untuk berbincang mengenai kota yang sedang saya datangi itu.
Hal ini sangat saya hargai, karena biasanya, pegawai di kantor wisata, hanya memberi saya berkas-berkas, khusus wartawan dimana segala informasi bisa saya dapatkan.
Mengapa disebut kota uang? Itulah pertanyaan yang keluar pertama kali karena dari tadi sudah menggelitik kerongkongan saya.
"Sebenarnya istilah Biarritz Kota Uang terdengar sedikit negatif," begitu tutur wanita yang ada di hadapan saya.
Hanya hal itu memang dipengaruhi beberapa faktor. Dimulai pada abad ke 18, kota Biarritz yang memiliki keindahan pantai dari ombaknya Samudra Atlantik ini dipilih oleh kalangan medis untuk terapi air.
Aneh sekali, terapi awalnya adalah bagi mereka yang mengalami gangguan jiwa. Tubuh mereka diselamkan dalam air, dengan harapan kencangnya ombak bisa membuat shock pikiran dan kembali menjadi normal. Sayangnya, bukannya jadi sembuh, yang ada malah banyak yang tenggelam dan kehilangan nyawa.
Barulah tahun 1800, resor terapi air ini berubah sebagai tempat untuk meditasi agar tubuh menjadi rileks. Dan delapan tahun kemudian, Napoleon  I dan istrinya Joéphine datang ke kota resor pantai itu, untuk menemani kakak mereka yang menjalani terapi, yang membuat keduanya berdiam selama beberapa bulan.
Kisah cinta Napoleon III dengan permaisuri, María Eugenia Ignacia Augustina, keturunan Spanyol di Biarritz ini juga membuat kota ini terkenal dengan sebutan ‘Ratu Pantai dan Pantai Raja’.  Pasangan tersebut selama kurun waktu 14 tahun kerap kembali ke kota ini untuk berlibur.
Tidak hanya Raja dan Ratu Perancis saja yang memilih kota ini sebagai tempat berlibur untuk membuat tubuh menjadi rileks, beberapa raja dan ratu dari negara lainnya turut memilih kota ini untuk menghabiskan masa istirahat mereka. Kalangan bangsawan dari mancanegara pun tergoda untuk mencoba memilih fasilitas mewah yang ditawarkan oleh resor pantai di sini.
Zaman dahulu, belum ada peraturan cuti dibayar. Maka, hanya mereka yang memiliki uang banyak yang bisa menikmati liburan, tanpa pusing memikirkan gaji mereka akan berkurang akibat tak bekerja. Dan di kota Biarritz inilah kebanyakan para kaum borjuis yang datang menikmati vakansi di resor pantai ini untuk berselancar, melepas keletihan tubuh dengan pelayanan perawatan badan atau hanya sekadar berjemur sambil menikmati minuman koktail.
"Tapi mengapa di kota ini dan sekitarnya? Kan banyak kota lainnya yang juga memiliki panorama rupawan lengkap dengan pantai dan lautnya yang memikat?" tanya saya penasaran.
Rupanya, suhu di sini sangat mempengaruhi pilihan wisatawan. Di mana saat musim dingin, udara kerap tak pernah membeku. Mereka menyebutnya udara lembut di musim dingin, karena tak membuat menggigil. "Dan di musim panas, biasanya tak pernah terlalu panas, tak seperti di Perancis selatan," tutur wanita tersebut.
Benar sekali! Karena di kota saya Montpellier yang berada di Perancis selatan, saat musim panas, bukan main, gahar benar si raja api itu membakar tubuh kami rasanya. Sampai-sampai, untuk keluar pun kami dibuat malas… saking panasnya! Perbandingannya adalah, di kota saya, suhu 40 derajat jadi langganan di musim panas. Di kota Biarritz ini, katanya, suhu 40 derajat itu adalah rekor yang terjadi di tahun 2003. Wah enak sekali…
Jadi, menurut wanita yang berkecimpung di bidang pariwisata itu, mengapa ada istilah kota Biarritz berbau uang, lebih karena sejarahnya. Meskipun tak bisa dihindari, sebutan itu masih boleh dibilang berlaku hingga saat ini. Karena memang banyak kalangan kelas atas yang memilih kota Biarritz sebagai tempat tinggal dan berlibur.
Sesuai dengan petunjuk dari petugas pariwisata tersebut, kami pun memulai menjelajahi kota ini. Benar sekali, pantai Biarritz yang luas, sangat enak dipakai sebagai jalan kaki. Tujuan kami yang pertama saat itu adalah melihat karang perawan, karena pas di depan museum laut di mana, kedua anak kami sudah tak sabar ingin segera mengunjunginya.
Karang perawan! Primadona yang digunakan sebagai foto kartu pos. Begitu terkenal, karena batu karang ini menyerupai lambung kapal yang panjang, dengan patung Maria di atasnya. Unik, karena dalam batu karang dibuat sebuah lorong mengakses ujung dermaga. Dari bagian atas batu karang ini, kita dapat mengagumi Teluk Biarritz, dua sisi pantai, dari bagian Basque hingga Pyrenées.
Puas mengagumi hasil pahatan alam, kami segera menuju museum laut. Mengejar atraksi yang sudah tak sabar dinantikan anak kami, yaitu memberi makan bayi anjing laut. Museum ini, sangat menarik, khususnya bagi para wisatawan yang datang dengan anak-anak mereka. Tapi mereka yang belum berkeluarga saja banyak yang ikutan antre. Pantas saja begitu beken, museum ini, karena memang sangat menarik!
Museum yang dibangun tahun 1933 ini tidak hanya berisi aquarium, namun juga memamerkan berbagai jenis peralatan yang berhubungan dengan air dari zaman dulu hingga saat ini lengkap dengan keterangannya. Satu ruangan menyediakan kolam di mana para pengunjung bisa menyentuh langsung binatang dan hewan laut. Menonton bagaimana para petugas, memberi makan ikan hiu. Sayangnya, pertunjukan ini  hanya tiga kali seminggu dan saat itu, kami tak beruntung.
Tapi untungnya masih ada atraksi menarik yang bisa kami tonton yaitu memberikan makan kepada anjing laut. Sambil memberikan makan kepada anjing laut, petugas hewan tersebut menerangkan latar belakang dan kebiasaan setiap anjing laut yang ada di sana. Bahkan beberapa bayi anjing laut yang telah lahir dan kini menjadi ibu juga diperkenalkan kepada penonton. Tentu saja hal ini membuat anak-anak yang melihatnya terpesona. Atraksi ini hanya dilakukan dua kali sehari, pagi dan sorenya. Sayangnya animasi ini dalam bahasa Perancis saja.
Berhubung waktu makan sudah tiba, kami pun mencari santapan sesuai dengan buku petunjuk kami. Kami menemukan daerah pelabuhan tua yang dibangun tahun 1870. Dulunya pelabuhan ini digunakan bagi para nelayan. Bahkan ada kota kecilnya (istilahnya), di mana para nelayan bisa beristirahat di sana. Kini lebih menjadi tempat turis, keindahan dari tempat kecil ini masih memikat.
Pantai yang berada seolah menjadi teluk sangat nyaman dipakai sebagai tempat bersantai. Beberaparestoran menyajikan masakan khas setempat. Kali itu kami berempat memilih sajian laut. Ikan bakar hasil tangkapan pagi itu, dan cumi bakar kegemaran saya. Nikmat sekali dan soal harga, sangat sesuai dengan kualitas makanan dan pelayanan yang simpatik.
Setelah perut merasa senang karena telah diisi dengan sajian nikmat, kami memutuskan untuk menyusuri pantai Biarritz. Suami dan kedua anak saya kalau sudah bertemu dengan pantai dan laut, lupa diri!
Handuk pantai segera ditebarkan dan mereka bertiga langsung asyik bermain pasir dan bermain ombak. Saya yang saat itu tak bisa ikut mereka berenang, memilih menikmati kotanya saja. Apalagi menurut, petunjuk yang saya baca, kota Biarritz sangat asyik dinikmati dengan berjalan kaki. Dan tentunya, karena saya sudah mengincar sepatu sendal ciri khas Basque (dari kain kanvas dan alasnya dari karet serta sulaman rami) juga kue khas daerah sini yang katanya lezat sekali.
Jadilah saya berkeliling kota sendirian. Wow... saya berkali-kali berdecak kagum, bukannya apa-apa. Selama saya  berjalan, mata ini kerap dihadang oleh bangunan indah dan mewah, khas para bangsawan yang mana masih merupakan tempat tinggal penduduk setempat. Juga hotel-hotel luksnya.
Butik-butiknya tak kalah menarik, hanya saja yang saya incar hanya satu yaitu toko sepatu Paregabia. Berbagai model ditawarkan, dan warnanya sangat memikat. Harganya, dari yang tak terlalu mahal hingga ratusan. Saya hanya mengincar model klasik, yang biasa dipakai untuk santai. Empat pasang sepatu sandal espadrille pun saya beli, bukan untuk saya semua tentunya, tapi untuk suami dan kedua buah hati. Sengaja saya pilih yang warnanya menyolok, biar kelihatan lebih chic!
Tujuan berikutnya adalah mengincar dua toko kue yang menurut orang tak boleh dilewatkan yaitu Maison Adam dan Paries. Di Maison Adam (membuat saya senang karena namanya sama dengan anak sulung saya), beberapa kotak berisi macarons saya beli. Hanya ada satu rasa, tapi dijamin sekali makan langsung ketagihan!!
Saya sampai kaget, karena memang benar seperti yang dibilang kebanyakan orang makan macarons Adam dari Biarritz bisa jadi ketagihan! Beberapa cokelat pun saya beli di toko kue ini, sebagai oleh-oleh, karena bungkusnya tertera tulisan Adam. Tentu saja saya tambah semangat membelinya sebagai hadiah kepada kerabat.
Di toko kue Paries, mouchous yang saya beli dengan pilihan berbagai rasa tentunya. Mouchou adalah kue seperti macarons tapi lebih lembut dan empuk tidak garing seperti macarons layaknya. Dan berisi adonan dari kacang almond. Soal rasa, sekali lagi, saya ketagihan. Dua kue ini asli membuat liburan saya bertambah dua kilo dalam seminggu! Pasalnya, sekali makan sulit berhenti.
Menjelang sore pun saya kembali bergabung dengan suami dan anak-anak saya. Mereka masih saja asyik bergurau dengan Samudra Atlantik. Saya lihat, anak sulung saya dibuat terkekeh-kekeh karena terhempas ombak, lalu terseret kakinya yang tadinya di pantai hingga ke dalam laut. Untungnya, pengawasan di pantai daerah Pays basque ini sangat ketat!
Pasalnya hanya daerah tertentu yang diperbolehkan bagi pengunjung untuk berenang. Itupun sangat dibatasi. Sekali pengunjung yang mencoba bandel melewati garis yang telah ditentukan, langsung para pengawas meniupkan peluit dan memintanya untuk kembali ke jalur aman.
Sementara bagi para perselancar, kebebasan mereka memang sangat luas. Kami beruntung, saat itu sedang berlangsung kompetisi internasional berselancar. Dari pantai tempat kami, mata ini bisa dengan puas melihat bagaimana para peselancar bermain di atas ombak dengan papan mereka. Magnifique! Tak saya pungkiri, selama kami berada di Pays basque, hampir setiap harinya kami selalu mampir ke kota Biarritz, karena tak membosankan. Pantainya, kotanya dan tentunya untuk kue-kuenya yang lezat!

Spanyol Pinggiran yang Satu Ini Memang Keren!


KOMPAS.com - Spanyol pinggiran? Mungkin itu hanya istilah kami saja saat mendatangi tempat ini. San Sebastian atau dikenal dengan Donostia dalam bahasa basques. Disebut "pinggiran" karena memang berbatasan dengan Perancis, dan kota ini berada di pesisir laut Cantabrico.
Bila saya menganggapnya menawan atau keren seperti seruan yang keluar dari mulut anak kami saat mobil kami memasuki kota ini, karena saat memasuki perbatasan Spanyol, terus terang bukan pemandangan yang asyik dilihat mata. Pemukiman sedikit kumuh membuat kami menjadi tak semangat pada awalnya. Karena mengira akan seperti itukah yang tersajikan nantinya? Ditambah macet, lengkaplah pula rasanya rasa ketir.
Pelan-pelan, jalanan mulai lancar, dan pemandangan tak sedap berganti cerah. Suasana kota campuran moderen dengan kuno membuat mata membesar, sibuk menangkap gambaran yang terlewat dari balik jendela.
Pantai!!! Itu yang diserukan si kecil! Kang Dadang (David) dan anak-anak saya, memang penggemar berat pantai. Kalau bisa mungkin punya rumah di pinggir pantai.
Setelah menemukan tempat parkir yang mendeteksi keluar masuknya kendaraan dengan sistim scaner, akhirnya kami berhasil menemukan satu tempat kosong. Memang yang berbau canggih kadang bikin bingung dan membuat kita merasa gagap teknologi.
Ohhh, indahnya... saat mata ini berpadu dengan luasnya laut tak terbatas. Saya sudah terbiasa dengan pantai, apalagi rumah saya hanya sepuluh menit dari pinggir laut. Istilahnya sarapan pagi di akhir minggu sambil memandang keindahan pantai dan lautan sudah menjadi hal yang lumrah. Tapi pantai yang ditawarkan saat itu di hati saya, memang sangat menyentuh. Terbeli sudah jantung ini, karena dibuat berdetak kencang.
Luas sekali pantainya, dan saat kaki ini menyentuh pasir, wow! Kok sensasi yang saya rasakan mirip seperti berjalan di dalam salju ya? Saking tebalnya pasir! Kalau saya boleh imajinasikan, serasa dibenamkan dalam garam, kresek-kresek begitulah.
Di mana tepatnya San Sebastian ini? Kota yang juga dikenal dengan sebutan Donostia, berada di sebelah utara Spanyol dan merupakan ibu kota dari Provinsi Gipuzkoa (bahasa basque).
San Sebastian merupakan sebuah bandar, dengan pesisir pantai yang memukau. Meliuk membentuk teluk dengan air laut yang berwarna biru kehijauan, hanya 20 km dari Perancis. Pada masa Perang Dunia I kota San Sabstian sudah dikenal sebagai kota kosmoplitan.
Mata Hari nama aslinya adalah Margaretha Geertruida (penari yang juga merangkap sebagai mata-mata pada Perang Dunia I), Maurice Ravel (komposer terkemuka Perancis), Maria Cristina, Ratu Spanyol yang memilih kota San Sebastian sebagai tempat tinggalnya, saat suaminya Raja Alfonso XII, wafat. Masih banyak lagi para tokoh terkemuka yang sudah jatuh hati dengan Donostia ini dan menjadikan sebagai tempat liburan dengan membangun kastil kediaman mereka.
Karena itulah, bangunan tua megah peninggalan masa kejayaan masih banyak tertinggal dan terawat. Asyik sekali dinikmati dan menjadi obyek indah foto. Kota urbanis ini memiliki teluk menawan dengan tiga pantainya yang terkenal, Zurriola, Ondarreta dan la Concha. Yang terakhir ini la Concha, merupakan primadonanya.
Bayangkan, saat kita berada di pantai dengan kelembutan pasir berwarna keemasan dan tebal, dua pemandangan ditawarkan begitu aduhai. Sisi kotanya, bangunan dari bebatuan, seolah dipahat menjadi istana yang indah. Sisi lautnya, warna biru kehijauan mengeluarkan busa putih hasil deburan gelombang.
Sejauh mata ini melihat, batas laut tak akan bisa tertangkap, hanya kapal-kapal saja yang berlayar, membuat kita menebak tujuan mereka.
Yang membuat saya begitu terpesona dengan Donostia adalah teluk pantai la Concha, yang berbentuk bagaikan bulan sabit dan di atasnya terdapat trotoar luas. Saya bilang luas, karena memang sangat besar!! Suka sekali kaki ini berjalan sepanjang trotoar tersebut! Bangku duduk di mana-mana, lalu lalang orang yang melakukan olah raga lari, pasangan yang bermesaraan, orang tua dengan anak mereka berjalan santai sambil sesekali berhenti menikmati lautan atau hanya sekadar burung camar yang terbang mendekat, hingga restoran menjadi santapan mata.
Tapi tentunya yang paling banyak ditemui adalah mereka yang sibuk berpose, demi mendapatkan gaya yang keren sebagai kenangan hasil liburan di Spanyol utara ini.
Sebelum kami mengunjungi kota tuanya, kedua anak kami sudah merengek agar segera menaiki kereta furnikular (kereta kabel), yang membawa kita ke atas bukit Monte Igueldo. Untuk mencapai stasiun kereta kabel, kami memilih dengan berjalan kaki sepanjang trotoar dengan pemandangan pantai la Concha yang bertemu dengan pantai Ondarreta.
Anak-anak ingin ke Monte Igueldo karena menurut petugas pariwisata, di sana terdapat taman bermain. Naik furnikular, harganya murah, kurang lebih 3 euros, setiap 15 menit selalu ada, mulai pukul 10.00 hingga 22.00. Tentu saja menaiki kereta kayu model kuno itu, membuat anak kami kegirangan.
Setelah sampai di atas, ahhh... ada rasa kecewa. Karena taman bermain yang kami temukan, merupakan taman atraksi bagaikan di Dufan di Ancol tapi sangat kuno!
Sambil berbisik, saya berguman kepada Kang Dadang, jika gambaran yang diberikan petugas pariwisata tadi, rasanya tak tepat! Tapi melihat si kecil malah loncat-loncat kegirangan, jadilah kami turuti keinginannya bermain. Naik mobil-mobilan dan sebagainya. Terus terang, saya dan suami bukan tipe yang senang dengan hiburan semacam ini, tapi namanya orang tua, menyenangkan anak, rasanya kewajiban...
Puas bermain kami mulai menikmati keindahan yang tersebar dari atas bukit. Kota San Sebastian semakin terlihat penuh keindahan. Monte Urgull, sebuah bukit yang berada antara kota tua San Sebastian dan Paseo Nuevo, juga turut menjadi bagian dari panorama cantik yang terlihat. Di sinilah, tempat yang cocok  untuk mengabadikan sebuah foto kenangan. Kota tua, pantai dan laut serta bukit, menjadi latar belakang yang sempurna.
Turun dari Monte Igueldo, kami menuju pantai Ondarreta, pantai yang terkenal karena bagian tepinya terdapat karang raksasa, di mana, hasil pahatan Eduardo Chillida dipajang untuk umum, seolah memang merupakan bagian dari pantai tersebut.
Seniman Chillida, memang kelahiran Donostia San Sebastian. Dia seorang seniman terkenal yang maha karyanya telah meraih banyak penghargaan dan dipamerkan di banyak negara.
Pahatan dari besi karyanya yang tertancap di karang dan pantai merupakan peleburan antara air dan daratan. Perpaduan yang memesona yang kini menjadi tempat para penduduk setempat dan para turis datang untuk menikmati hari santai, sambil melihat pameran terbuka.
Saat jam menunjukkan pukul 14.30 kami memutuskan untuk mencari santap siang. Kalau menurut ukuran normal, ini namanya makan telat! Tapi di Spanyol, jam makan itu sangat telat dibandingkan negara lainnya. Sarapan mulai pukul 10 pagi, makan siang mulai 14.00 dan makan malam lebih parah lagi, baru bisa dinikmati setelah jam 9 malam!
Makanan yang terkenal di daerah ini adalah 'pintxos' yakni sejenis sandwich kecil dengan berbagai macam isi sesuai selera. Tentu saja menu tapas sudah pasti merupakan jenis makanan khas di sini.
Bagi Anda yang Muslim, dalam memilih pintxos atau tapas sebaiknya menanyakan satu persatu dengan teliti isinya. Karena pintxos kebanyakan berasal dari daging babi.
Daging asap yang menurut masyarakat setempat sangat disukai. Kami memilih kentang goreng bersaus, cumi dan beberapa sandwich yang berisi ikan tuna dan telur.
Benar! Pintxos si sandwich kecil tersebut enak sekali dimakan! Karena kecil rasa kenyangnya, jadi lama, dan yang ada kami harus membeli lumayan banyak. Rupanya kecil-kecil dengan harga antara 2 sampai 4 euros satunya, ternyata saat membayar menjadi angka yang lumayan mengejutkan!!
Kekenyangan dengan santap siang, waktunya mengukur jalan, alias meneruskan perjalanan wisata.
Dalam kota tua San Sebastian, banyak sekali yang bisa didatangi. Gereja-gerejanya yang cantik, beberapa museum yang wajib dikunjungi, seperti museum naval khususnya bagi penggemar laut. Dan tentunya museum Chillida. Di sana, hasil seninya dipajang secara memukau, baik di tamannya dengan pahatan raksasa, ataupun dalam bangunan museum hasil goresan tangannya.

Bali Terkenal karena Penulis Asing


DENPASAR, KOMPAS.com - Bupati Badung Anak Agung Gde Agung mengatakan, Bali terkenal sebagai destinasi wisata internasional karena banyaknya tulisan yang dibuat oleh orang-orang asing.
"Kemasyhuran Bali dengan panorama alam, adat dan seni budaya juga diperkenalkan oleh para arkeolog luar negeri yang melakukan penelitian tentang budaya Bali," kata Gde Agung di Mangupura, Mengwi, Kabupaten Badung, Selasa (22/1/2013), saat menerima kunjungan Richard Mann, seorang penulis asing yang telah merampungkan puluhan judul buku tentang Bali.
Menurut Bupati Badung, tulisan-tulisan dari orang asing mengenai Bali itu menjadikan Pulau Dewata dikenal luas ke penjuru dunia.
Kabupaten Badung salah satu dari sembilan kabupaten/kota di Bali memiliki obyek wisata yang tersebar pada enam kecamatan, yakni Kuta, Kuta Selatan, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang.
Salah satu objek yang ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBD) adalah Pura Taman Ayun yang merupakan satu kesatuan dengan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar.
Gde Agung menjelaskan keberadaan Taman Ayun sebagai cagar budaya mutlak perlu disosialisasikan dan diinformasikan kepada generasi muda, masyarakat dan wisatawan. Informasi itu dapat dilakukan secara lisan maupun melalui tulisan-tulisan yang mampu menjangkau masyarakat luas, termasuk di mancanegara.
Bupati menyambut baik dan memberikan apresiasi terhadap Buku berjudul "1st Complete Guide To Bali’s First UNESCO World Herritagesite" yang ditulis oleh Richard Mann.
Dalam buku itu salah satunya membahas tentang Pura Taman Ayun yang mencerminkan sejarah perluasan sistem subak. "Tulisan ini selain memberikan informasi tentang Pura Taman Ayun juga sebagai sarana untuk melakukan konservasi terhadap cagar budaya di kalangan generasi muda," kata Gde Agung.
Gde Agung menambahkan, wisatawan berkunjung ke Badung melalui informasi buku merupakan wisatawan intelektual yang berkunjung bukan sekadar untuk hura-hura melainkan yang benar-benar ingin melihat seni budaya.

Mari Memotret Yogyakarta dan Borobudur!

KOMPAS.com - Komunitas pecinta fotografi mendapat prioritas utama untuk mengabadikan Yogyakarta dan sekitarnya berikut Candi Borobudur. Undangan ini, kata Senior Vice President Corporate Secretary Merpati Nusantara Airlines (Merpati) Herry Saptanto, hari ini, akan terwujud pada 15-17 Februari 2013. 

http://travel.kompas.com/read/2013/01/22/21482113/Mari.Memotret.Yogyakarta.dan.Borobudur.

Awalnya, dalam rilisnya, Herry mengatakan kalau kegiatan lomba foto menjadi dasar pengembangan program ini. "Kami memberi nama Mexlens,"katanya.

Dalam program itu, Merpati menawarkan paket wisata 3 hari 2 malam. Rute pertama adalah kunjungan ke Candi Prambanan. Pemandu wisata dalam kesempatan ini adalah para pramugari. 

Pada hari kedua, terang Herry, peserta diajak memotret matahari terbit di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Acara berlanjut dengan pemotretan di desa Borobudur serta di Pantai Klayar, Pacitan, Jawa Timur. 

"Hari ketiga, sejak pukul 06.00, semua peserta akan diajak berwisata sekaligus mengadakan pemotretan dengan latar belakang atau objek wisata Malioboro, Yogyakarta,” papar Herry Saptanto.

Lebih lanjut, menurut Herry, program ini terhubung dengan rute penerbangan Merpati Bandung-Yogyakarta pergi pulang. Kemudian, program ini terbagi menjadi dua paket yakni A dan B. Pada paket A dengan harga Rp 2,1 juta, tiap peserta mendapat konsumsi selama mengikuti paket wisata termasuk saat melakukan pemotretan objek wisata, biaya transportasi darat, hotel atau tempat penginapan dan biaya lainnya. "Peserta yang bukan berasal dari Bandung lebih baik memilih Paket B,"kata Herry.

Pada Paket B, lanjutnya, peserta tidak mendapatkan tiket pesawat. Meski begitu, fasilitas lainnya yang ada di Paket A juga dapat dinikmati peserta Paket B. "Pendaftaran hingga 4 Februari 2013,"demikian Herry Saptanto.

Kamis, 17 Januari 2013

Bali Sangat Menjanjikan untuk Kapal Pesiar



DENPASAR, KOMPAS.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung menilai kualitas dan tingkat kepariwisataan di Bali harus ditingkatkan menjadi lebih eksklusif sehingga tidak terkesan terlalu murahan.
Para penumpang dari kapal pesiar biasanya tidak mempedulikan berapa banyak uang harus dihabiskan untuk berlibur.
-- Rai Suryawijaya
"Salah satu cara menjadikan pariwisata lebih eksklusif adalah memanfaatkan potensi wisata bahari atau dikonsentrasikan ke laut," kata Ketua PHRI Badung, Rai Suryawijaya, di Denpasar, Kamis (17/1/2013).
Potensi yang harus dimanfaatkan itu adalah dari pelayaran kapal pesiar, sebab dalam satu kali kedatangan saja sekitar 6.000 orang diturunkan untuk menikmati keindahan alam Pulau Dewata. "Sangat menarik jika pariwisata dikonsentrasikan ke laut. Wisata kapal pesiar sangat menjanjikan di Bali," ujarnya.
Menurut Rai, apabila dimanfaatkan dengan baik tidak menutup kemungkinan Pulau Dewata semakin menjadi tujuan wisata teratas di dunia.
Pemanfaatan potensi tersebut harus dipikirkan ke depannya dengan baik, sehingga pariwisata di Bali diarahkan dari daratan ke lautan. Sebab para penumpang kapal pesiar itu tergolong wisatawan kelas elite yang memiliki kemampuan.
"Para penumpang dari kapal pesiar yang singgah ke sini biasanya tidak mempedulikan berapa banyak uang harus dihabiskan untuk berlibur," ucapnya.
Rai menambahkan, potensi tersebut harus dikombinasikan dengan paket wisata lainnya, sehingga akan lebih membuat banyak turis berduit datang ke Bali.
Sumber :
Antara
Editor :
I Made Asdhiana

Benteng Kuto Besak, Keindahan di Tepian Sungai Musi



KOMPAS.com - Benteng Kuto Besak berdiri kokoh di ketinggian 10 meter dimana dari sini Anda dapat menyaksikan kapal-kapal berlalu-lalang di Sungai Musi. Benteng ini adalah kebanggaan masyarakat Palembang karena merupakan benteng terbesar dan satu-satunya yang terbuat dari batu sebagai saksi perlawanan terhadap penjajah asing.
Dibangun pada abad ke 17, Kuto Besak merupakan warisan Kesultanan Palembang Darussalam yang memerintah pada 1550-1823. Benteng ini memiliki panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter dan tebal 1,99 meter, berfungsi sebagai pos pertahanan.
Lokasi Benteng ini baik secara politik dan geografis sangat strategis karena membentuk pulau sendiri, berbatasan dengan Sungai Musi di sebelah selatan, Sungai Sekanank di sebelah barat, Sungai Kapuran di sebelah utara dan Sungai Tengkuruk di sebelah timur.
Berdasarkan catatan sejarah di Balai Arkeologi Kota Palembang, benteng ini pendiriannya memakan waktu 17 tahun (1780-1797). Pembangunan Benteng Kuto Besak diprakarsai Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah 1724-1758. Konstruksinya dimulai pada 1780 selama era Sultan Mahmud Badaruddin.
Benteng ini dimaksudkan sebagai sebuah istana yang dibangun untuk menggantikan Keraton Kuto Lamo Tua atau Benteng Kuto Lamo yang luasnya tidak cukup besar. Saat ini, Benteng Kuto Lamo digunakan sebagai Museum Sultan Mahmud Badarudin II. Benteng Kuto Besak akhirnya digunakan secara resmi sebagai pusat pemerintahan Kesultanan dari 21 Februari 1797.
Tahun 1821 benteng ini diserbu oleh tentara kolonial Belanda. Benteng Kuto Besak dirampas dan Sultan Mahmud Badaruddin II dibuang ke Maluku. Kejadian ini menandai akhir dari era Kesultanan Palembang. Tanda pendudukan Belanda terukir di Benteng Kuto Besak dengan ukir gaya kolonial.
Benteng Kuto Besak adalah refleksi dari masyarakat multietnis dari era Kesultanan Palembang Darussalam. Pengawasan konstruksi dipercayakan kepada seorang supervisor Cina, sementara para buruh bangunan asli Palembang dan Cina yang bekerja bergandengan tangan dalam keharmonisan. Keharmonisan ini juga salah satu warisan yang diturunkan sampai hari ini seperti digambarkan dalam banyak acara-acara di Kota Palembang seperti di Cap Go Meh dan Imlek (Tahun Baru Cina).
Setiap sudut benteng diperkuat dengan bastion. Bastion di sudut barat  lebih besar dan mirip dengan benteng-benteng lain di Indonesia sementara bastion lainnya bentuknya arsitekturnya unik dan tidak mungkin ditemukan di tempat lain.
Gerbang utama, yang disebut Lawang Kuto, terletak di selatan menghadap ke Sungai Musi, sedangkan gerbang lainnya yang disebut Lawang borotan terletak di sebelah barat dan timur, meskipun gerbang barat saat ini satu-satunya yang masih berdiri.

Mengintip Keindahan Bengkulu lewat Benteng Marlborough



KOMPAS.com - Setelah lebih kurang 140 tahun Pemerintah Inggris berada di Bengkulu, mereka banyak meninggalkan "warisan" peninggalan bersejarah. Salah satunya adalah Benteng Marlborough. Benteng Marlborough merupakan bangunan kokoh peninggalan Inggris yang dibangun pada 1713 hingga 1719 pada masa kepemimpinan Gubernur Joseph Collet.
Nama benteng ini menggunakan nama seorang bangsawan dan pahlawan Inggris, yaitu John Churchil, Duke of Marlborough I. Benteng ini tergolong terbesar di kawasan Asia.
Peninggalan sejarah ini memiliki daya tarik yang besar karena kelangkaannya. Benteng ini dulunya merupakan pusat pemerintahan kolonial Inggris yang menguasai Provinsi Bengkulu selama lebih kurang 140 tahun (1685-1825).
Sehingga benteng ini pun masih memiliki bentuk yang sesuai dengan desain asli bangunan abad ke-17. Sungguh merupakan daya tarik yang jarang ditemukan di tempat lain.
Situs kawasan Benteng Marlborough ini berada dalam satu kawasan dengan obyek wisata alam pantai, yaitu Pantai Tapak Paderi. Sehingga memberikan perpaduan objek wisata alam dan budaya. Kelengkapan kawasan ini sebagai obyek wisata menjadi potensi besar untuk dapat menjadi obyek wisata unggulan bagi Kota Bengkulu.
Benteng Marlborough sejak mulai dibangun telah memegang fungsi strategis di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Potensi kesejarahan yang demikian merupakan komoditi penelitian yang menarik. Potensi ini memiliki nilai yang besar dalam memperkaya kajian keilmuan.
John Bastin dalam bukunya yang berjudul: The British in West Sumatera (1685-1825) A Selection Documents with An Introduction. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1965, banyak memberikan informasi tentang kejadian-kejadian di sekitar Benteng Marlborough.
Bahkan yang lebih menarik adalah digunakannya dokumen-dokumen resmi dari pemerintah Inggris yang berpusat di Benteng Malborough, termasuk dokumen yang disebut SFR (Sumatera Factory Record). Karya pustaka ini dapat menjadi sumber informasi yang mampu memberikan daya tarik kepada wisatawan mancanegara maupun nusantara.
Seperti salah satu informasi dari John Bastin yang menarik bahwa Benteng Marlborough pernah ditinggalkan oleh pemerintah Inggris selama hampir lima tahun, yaitu pada 1719-1724. Tentu saja ini menarik untuk diketahui lebih lanjut, tentang siapa yang menguasai Benteng Marlborough selama tahun 1719-1724, dan apa yang sebenarnya terjadi selama lima tahun tersebut.
Informasi tersebut tentu mengandung nilai sejarah yang tinggi dan merupakan sumber keilmuan yang berharga. Sebagai peninggalan sejarah yang penuh potensi keilmuan, Benteng Marlborough telah memiliki segmen pasar tersendiri, yaitu para pelajar dan mahasiswa.
Pada 1712 Yoseph Collet diangkat menjadi Deputi Gubernur. Dia meminta izin untuk menggantikan benteng York dan membangun satu benteng baru di atas karang, satu bukit kecil yang menghadap ke laut sekitar 2 Km dari benteng York.
Pada 1714 dimulailah pembangunannya dan selesai pada tahun 1718. Yoseph Colet menyebutnya benteng "Malborough" yang merupakan Duke Of Malborough pertama yang diangkat menjadi pahlawan nasional setelah ia memenangkan sejumlah pertempuran melawan Perancis dan musuh-musuh lainnya.
Pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles pada 1818-1824 Bengkulu menjadi terkenal. Pada 1825 Inggris yang menguasai Bengkulu melakukan tukar menukar dengan Belanda yang menguasai Malaysia dan Singapura.
Belanda selanjutnya menempati benteng Malborough sampai Perang Dunia II yang pada akhirnya semua wilayah Sumatera diduduki tentara Jepang sampai Jepang menyerah kalah pada 1945. Setelah Kemerdekaan RI tahun 1945 benteng tersebut digunakan oleh TNI dan polisi sampai tahun 1970.
Setelah Kemerdekaan RI, Bengkulu merupakan salah satu Keresidenan di Provinsi Sumatera Selatan, baru pada tahun 1968 Bengkulu terwujud menjadi Provinsi yang berdiri sendiri dan lepas dari Provinsi Sumatera Selatan.
Lantas, apa saja yang ditawarkan kepada pengunjung obyek wisata ini? Para pengunjung dapat melihat kebesaran kekuatan penjajah kolonial di masanya dengan bangunan benteng yang besar dan masih terjaga kelengkapannya ini.
Kemudian menikmati panorama laut dari salah satu sisi benteng yang memang indah di sore hari. Untuk penginapan, para wisatawan tidak perlu susah-susah lagi, karena terdapat hotel dan penginapan di radius maksimal 1 km dari benteng ini.
kuti twitter Kompas Travel di @KompasTravel 

Editor :
I Made Asdhiana


Oleh-oleh "Rasa" dari Manado



WAKTU libur telah berlalu. Meski begitu, enggak ada salahnya kalau kita mengenal penganan yang banyak banget ragamnya di Tanah Air ini. Salah satukuliner daerah yang relatif cocok dengan lidah banyak orang adalah hidangan dari Sulawesi Utara.
Siapa tahu untuk liburan mendatang kita punya kesempatan untuk menjelajah Indonesia bagian timur. Teman-teman pernah dengar Bunaken? Tempat ini menjadi salah satu tujuan wisata di Manado dan terkenal dengan pemandangan bawah lautnya yang indah.
Namun, jika waktu dan uang saku kita terbatas, menikmati suasana Manado pun dapat memberi ”oleh-oleh” yang berbeda, terutama buat kita yang seumur-umur tinggal di kota besar di Pulau Jawa.
Manado, yang punya slogan ”Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara)” ini sering disebut juga ”Kota Tinutuan”. Pasalnya, di berbagai sudut kota ini kita dengan mudah menemukan tempatmakan tinutuan atau kita kenal juga dengan sebutan bubur manado.
Andre Rumimper, siswa SMK Smart Pioneer Manado, mengatakan, saking enaknya tinutuan, tidak hanya menjadi makanan kegemaran warga setempat, tetapi juga orang-orang dari luar Manado. ”Bubur manado dibawa orang sampai Timika, Papua,” katanya.
Tinutuan biasanya menjadi makanan pagi warga Manado. Namun, sebenarnya sampai siang, bahkan malam hari, kita sah-sah saja menikmati bubur yang aroma kemanginya begitu kuat ini. Namanya bubur, bahan utamanya adalah beras.
Kekhasan tinutuan adalah pada campuran di dalamnya, yaitu kunyit, serai, labu kuning (orang Manado menyebutnya sambiki), pipilan jagung, ubi, kangkung, bayam, dan daun gedi.
”Sambiki harus dipilih yang bagus karena itu yang memengaruhi warna dan kekentalan tinutuan,” kata Desire Maitimo Taliwuna, pemilik rumah makan Dego-Dego, di Jalan Wakeke, Kecamatan Wenang, salah satu tempat yang menyediakan tinutuan di Manado.
Tinutuan lebih nikmat jika disantap bersama rica (sambal). Ada bermacam-macam rica yang bisa kita sesuaikan dengan kesukaan lidah masing-masing. Misalnya, rica roa yang merupakan campuran sambal dengan suwiran ikan terbang atau rica bokasang yang salah satu bahannya adalah bagian perut ikan cakalang (dihancurkan sampai halus, menyerupai terasi).
Lebih sedap lagi jika tinutuan kita nikmati bersama nike, gorengan ikan danau yang kecil-kecil (umumnya berasal dari Danau Tondano) yang dibumbui bawang putih dan daun bawang lalu dicampur tepung terigu. Adonan itu digoreng dengan bentuk seperti perkedel.
Kita juga bisa menikmati tinutuan dengan ”lauk” ikan cakalang asap, perkedel jagung, dan ikan asin. Ehm, membayangkannya saja sudah terbit liur kita.
Ikan untuk semua
Masih soal kuliner, teman kita dari SMA Negeri 2 Manado, Steleyie Sagay, menawarkan ikan woku. Kata Steleyie, bahan baku ikannya bisa bermacam-macam, misalnya ikan mujair, ikan tuna, ikan cakalang, atau ikan goropa. Ikan direndam dulu dengan perasan jeruk nipis dan garam.
Setelah itu, ikan baru dimasak dengan beragam rempah, yakni lengkuas, jahe, batang serai, kunyit, bawang merah, bawang putih, dan kemiri. Kuah ikan woku saja sudah terasa nikmat dan segar.
Sementara ikan roa yang pedas-pedas gurih menjadi pilihan Gledys Sambow, siswa SMA Negeri 6 Manado. ”Ikan roa yang dikeringkan bisa bertahan lama. Ikan itu kita buat seperti abon lalu dicampur cabai, dijamin teman tidak akan rugi,” tulisnya.
Ikan roa ataupun ikan woku bisa menjadi teman nasi hangat. Saat musim hujan seperti sekarang, makan nasi hangat plus ikan roa atau ikan woku ditambah sedikit sayur pakis akan memberi kita rasa hangat.
Sementara buat santap siang atau makan malam, kita bisa mencoba nasi kuning. Salah satu yang terkenal adalah rumah makan nasi kuning Selamat Pagi di Jalan Lawangirung. Gurihnya santan dan kunyit langsung terasa pada sendokan pertama.
”Kami hanya memakai beras superwin. Ini padi lokal yang dibudidayakan petani di Manado. Beras superwin menghasilkan nasi yang harum dan gurih,” kata Ramlah, generasi ketiga usaha rumah makan itu.
Nasi kuning disantap bersama semur daging sapi, sambal goreng daging sapi-kentang, telur ayam rebus, serta abon ikan tuna dan abon ikan cakalang.
Penganan ringan
Kalau kita pengin sesuatu yang ringan, sekadar buat menggoyang lidah selama di perjalanan, salah satu makanan yang pantas dicoba adalah gohu. Kata Jenifer Worotikan, pelajar SMA Negeri 6 Manado, gohu menjadi salah satu makanan khas Manado yang berbahan utama buah pepaya.
”Rasa gohu itu campuran dari manis, pedas, dan asam. Orang bilang, bukan orang Manado kalau nyanda suka gohu, he-he-he,” katanya tentang gohu.
Penganan ini merupakan ramuan irisan pepaya dengan bumbu jahe, gula pasir atau gula merah, asam jawa, terasi, cabai, cuka, garam, dengan sedikit air. Rasa gohu yang segar dan pedas bakal membuat mata kita langsung melek.
Ada lagi penganan ringan yang sebaiknya kita nikmati selagi di Manado, yakni pisang goreng dan keripik pisang. Kedua penganan itu berbahan dasar pisang goroho. Cocolkan irisan pisang ke rica roa atau rica bokasang, lidah kita seakan minta tambah.
Sebagai buah tangan buat sahabat, kita bisa pilih kue bangket putih, bangket aren, kacang tore, atau keripik pisang goroho, selain tentu saja klapertart yang berbahan utama kelapa muda. Kita bisa memilih klapertart rasa orisinal, dengan rum, cokelat, atau yang diolah dengan kismis. (Jean Rizal Layuck/Chris Pudjiastuti)

Pasar Malaysia, Rasa Indonesia



KOMPAS.com – Ibu-ibu berwajah melayu menjajakan aneka jajanan manis seperti dodol. Di sudut-sudut lain, aneka sayuran segar memenuhi lapak pasar. Lalu aneka bumbu rempah, ikan, dan daging ayam mendominasi.

Di lantai atas pasar, para wanita berjilbab tengah menanti pembeli. Mereka menjajakan aneka kain batik. Mayoritas pembelinya pun perempuan. Warna-warni batik dengan motif dominan kembang sepatu dan bunga-bunga lainnya siap “dipersunting” pembeli.

PASAR 7
Pedagang makanan di Pasar Besar Kedai Payang, Terengganu. (Foto: KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.)
Pasar itu sederhana saja. Dua tingkat tanpa pendingin ruangan. Ya, ini bangunan semi terbuka. Walau begitu, tak becek dan kebersihannya lumayan terjaga. Masuk ke dalamnya, pedagang membuka lapak begitu rapat, layaknya pasar tradisional.

Bedanya, ini bukan pasar di Indonesia, melainkan sebuah pasar di Terengganu, Malaysia. Selintas suasananya sangat mirip dengan pasar di Indonesia. Apalagi tutur kata yang digunakan adalah Bahasa Melayu, yang begitu mirip dengan Bahasa Indonesia.

Berada di dalamnya pun jadi tak merasa asing. Barang dagangan yang ditawarkan pun serupa, meski dengan nama yang berbeda-beda. Pun aneka batik yang dijual pun mirip. Hal yang membedakan hanya transaksi perdagangan menggunakan mata uang ringgit.

Pasar Besar Kedai Payang berlokasi di Kuala Terengganu, Terengganu. Ia persis berada di tepian Sungai Terengganu. Pasar ini merupakan pasar induk di Terengganu. Terdiri dari pasar basah dan kering, tempat ini menjadi tujuan wisatawan yang datang ke Terengganu.

Suvenir khas Terengganu yaitu serba kura-kura mudah dijumpai di sini. Mulai dari boneka kura-kura sampai gantungan kunci kura-kura. Ya, maskot Terengganu adalah kura-kura. Becak yang berjejer di depan pasar menjadi moda transportasi favorit wisatawan maupun penduduk lokal.

Pasar batik

Pasar Besar Kedai Payang seringkali menjadi salah satu tempat rekomendasi untuk membeli batik khas Terengganu. Batik memang asli Indonesia. Namun tak bisa dipungkuri, sejarah mengisahkan tradisi membatik yang terbawa sampai ke Malaysia.

PASAR 8
Pedagang batik, songket, sarung, dan aneka kaos Pasar Besar Kedai Payang, Terengganu. (Foto: KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.)

Salah satu yang tenar adalah batik di Terengganu. Beberapa orang menyebut batik dan songket Malaysia yang terbaik dibuat di Terengganu. Oleh karena itu, bagi orang Malaysia sendiri, tak lengkap rasanya mampir di Trengganu tanpa beli batik.

“Saya mau cari batik untuk nenek saya. Dia suka sekali pakai kain batik,” tutur Keiko, seorang kawan asal Sabah, Malaysia.

Warna yang ditampilkan pun beragam, seperti biru, merah, jingga, hingga hijau. Motif-motifnya sebagian besar bunga, terutama kembang sepatu yang merupakan bunga nasional Malaysia. Ada banyak toko batik berjejeran di lantai dua Pasar Trengganu.

Selain batik, toko-toko ini menjual songket yang harganya mencapai jutaan rupiah dan sarung, serta busana muslimah maupun anak-anak. Jangan lupa menawar sebelum membeli, mulailah dengan setengah harga dari yang ditawarkan.

PASAR 3
Aneka sarung dan songket dijual di Pasar Besar Kedai Payang, Terengganu. (Foto: KOMPAS.com/Ni Luh Made Pertiwi F.)
Batik yang dijual pun ada yang jenis katun dan sutra. Tetapi jangan heran jika Anda menemukan beberapa batik yang motifnya mengingatkan pada batik-batik khas Jawa.

Ya, perhatikan dengan seksama labelnya. Ternyata, banyak batik berasal dari Pekalongan. Motifnya memang berbeda. Sementara sarung pun sebagian besar “Made in Indonesia”. Mungkin bagi orang Indonesia, penjelajahan Pasar Besar Kedai Payang ibarat sebuah pasar Malaysia rasa Indonesia.