Selasa, 08 Oktober 2013

Terunyan yang Terpinggirkan...

Desa Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, tak hanya memberikan pengalaman luar biasa tentang tradisi pemakaman yang unik. Desa purba di kaldera Gunung Batur ini ternyata mengesankan pula, karena memiliki lanskap menawan, sarat jejak arkeologi, dan jalur darat yang menantang keberanian, bahkan keterampilan berkendara.

Waktu menunjukkan lepas tengah hari ketika kami sampai di tepi Danau Batur di Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani. Usai bersantap di rumah makan terapung yang menawarkan menu olahan aneka ikan air tawar, kami pun bersiap melanjutkan perjalanan ke Desa Terunyan di seberang Danau Batur.

Tidak seperti umumnya wisatawan yang memilih menyeberang danau dengan menyewa perahu, kami mengambil jalur darat dengan menyusuri lembah di sisi timur. Jalan berlapis aspal tipis, dengan lebar sekitar lima meter. Medannya terjal, melewati tanjakan atau turunan tajam yang menukik, diapit kokohnya pegunungan dan cantiknya Danau Batur dengan airnya yang begitu tenang. Sekitar satu jam, sampailah kami di sebuah permukiman padat, tetapi tenang, persis di tepi Danau Batur. Itulah Desa Terunyan yang memikat turis asing maupun domestik sejak tahun 1970-an.

Pertanian merupakan tulang punggung perekonomian penduduk di desa seluas 19,3 kilometer (km) persegi ini. Lazimnya petani di daerah berhawa dingin, rata-rata sekitar 17 derajat celsius, mereka menanam sayuran, seperti kubis, kentang, wortel, dan buah seperti jeruk. ”Masih sedikit warga yang bekerja di sektor pariwisata, seperti menyewakan perahu atau menjadi pemandu wisata,” ungkap Sekretaris Desa Terunyan, I Ketut Jasa.

Berbeda dengan umat Hindu umumnya, mereka tidak menyembah Dewa Wisnu, Siwa, dan Bhrahma. Ada satu pura yang sangat dihormati di desa berpenduduk 3.000 jiwa ini, yakni Pura Pancering Jagat. Di dalamnya terdapat patung Ratu Sakti Pancering Jagat.

Sejumlah arkeolog memperkirakan, Terunyan sudah ada sejak abad X Masehi. Dari Prasasti Trunyan AI, misalnya, diketahui tulisan tahun 833 Saka yang menerangkan izin pembangunan satu kuil untuk Batara Da Tonta, yang tidak lain adalah Ratu Sakti Pancering Jagat. Di Pura Terunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat berupa batu raksasa setinggi sekitar empat meter. Batu itu diperkirakan hasil seni patung gaya megalitik.

Tiga makam

Orang Terunyan biasa disebut sebagai orang Bali Aga, Bali Mula, atau Bali Turunan. Bali Aga berarti orang Bali Pegunungan, Bali Mula berarti Bali Asli. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnya, yang menyebut diri Bali Hindu, yang adalah penduduk mayoritas di Bali. Bali Hindu adalah entitas yang terkena pengaruh kebudayaan Jawa Majapahit.

EKA JUNI ARTAWANDesa Trunyan dari tengah Danau Batur, Kintamani, Bangli.
Daya tarik lainnya, adalah budaya penduduk Terunyan yang tak membakar mayat dalam upacara ngaben, seperti lazimnya masyarakat Bali. Sebaliknya, mereka meletakkan jenazah di atas tanah dan hanya dipagari anyaman bambu.

Ada tiga makam, yakni sema wayah untuk mereka yang menikah dan mati wajar; sema bantas untuk yang mati tidak wajar, seperti kecelakaan; serta sema nguda untuk meletakkan jenazah bayi dan bujangan yang mati wajar. Sema wayah berada di bawah pohon menyan. Sementara sema bantas letaknya di tepi danau di daerah perbatasan masuk ke desa. Sema nguda letaknya di bukit atau tebing.

Dari tiga makam, sema wayah atau pemakaman di bawah pohon menyan yang menjadi daya tarik wisata. Untuk mencapainya, harus naik perahu sekitar 10 menit dari Desa Terunyan. Di makam ini, harus ada 11 jasad dengan formasi enam jasad disusun di baris atas, sedangkan lima jasad di bawahnya. Jasad ini digeletakkan begitu saja di bawah pohon tanpa dikubur dengan barang-barang yang dinilai memiliki kenangan kuat dengan si jenazah itu.

Jasad dibiarkan hancur secara alami. Jika sudah tinggal tulang, jasad itu dipindahkan. Tulang badan, tangan, dan kaki ditumpuk di samping pintu gerbang. Tengkorak kepala ditaruh di sebuah fondasi batu disusun berjejer dengan yang lain. Jika prosesi ini sudah dilakukan, berarti boleh ada jasad lagi yang dimakamkan di tempat ini.

Mulanya saat datang ke makam ini, kami berpikir akan mencium bau busuk dari jasad. Namun, tak satu pun dari kami yang mencium bau busuk. Sebaliknya justru wangi-wangian yang semerbak. Namun, bulu kuduk bergidik beberapa kali. Dari sela-sela bambu penutup, kami melihat jasad anak kecil yang ditutup sehelai kain putih. Ia baru meninggal sebulan yang lalu. Di sekeliling makamnya banyak bertabur koin-koin, seperti mata uang.

Tidak berubah

Walaupun menjadi tujuan wisata, bahkan pernah dalam sehari dikunjungi sekitar 1.000 wisatawan, Desa Terunyan tak berubah. Tidak ada penginapan, apalagi kafe atau restoran. Hanya sekitar 20 persen penduduk yang bekerja di sektor pariwisata, selebihnya petani.

Kenyataan ini meruntuhkan gambaran kemakmuran Bali, yang selama ini selalu dikaitkan dengan gemerlap di Kuta dan sekitarnya. (HAM/IDR/OTW)

Kemarau Menguningkan Kawasan Labuan Bajo

Dari Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) Tim Ekspedisi Sabang-Merauke: ”Kota dan Jejak Peradaban” harian Kompas pun menumpang Kapal Motor Penumpang (KMP) Dewana Dharma untuk menyeberang ke Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah perjalanan sekitar enam jam, Tim tiba di Labuan Bajo, Sabtu (5/10/2013) dini hari.

Badan penat dan lelah setelah hampir 24 jam berkendara dan dua kali menyeberang laut sejauh 792 kilometer (km) dari Denpasar, Bali, ke Labuan Bajo, membuat kantuk tak tertahankan. Syukurlah, Tim memiliki waktu sehari beristirahat dan menikmati keindahan Labuan Bajo di pantai Luwansa.

Seusai makan siang, Tim berkeliling Labuan Bajo. Musim kemarau membuat warna kuning kecoklatan mendominasi panorama. Labuan Bajo, yang adalah kota kecil diapit perbukitan dengan pepohonan yang meranggas dan teluk kecil dengan kapal phinisi.

Matahari bersinar terik dan udara terasa gerah. Jalan mendaki dan berliku. Gersang dan kering. Itulah kesan yang tertangkap dari Labuan Bajo. Pemandangan nyaris sama seperti saat Tim menjelajahi Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di Provinsi NTB.

Akan tetapi, saat berhenti di puncak salah satu bukit, tampaklah Laut Flores dengan gradasi biru dan hijau yang indah. Ibarat kanvas bertaburkan noktah berupa kapal, lukisan itu semakin cantik dengan perbukitan yang langsung menjulang di sisi pantai.

Inilah keindahan yang dicari oleh wisatawan yang datang ke Labuan Bajo. Siapa pun yang singgah di puncak bukit dengan latar belakang pemandangan nan mengagumkan itu pastilah sulit untuk tak mengabadikannya dengan kamera.

Kondisi Labuhan Bajo kini jauh berbeda dibandingkan 15 tahun lalu. Hotel sekelas melati pun saat itu bisa dihitung dengan jari. Jalanan sepi dan tak terawat. Labuan Bajo ketika itu hanya kampung nelayan kecil.

Temuan komodo

Labuan Bajo semakin mencuri perhatian dunia, semenjak orang Eropa menemukan komodo(Varanus komodoensis) tahun 1910. Dunia dibuat tercengang dengan kabar tentang spesies kadal raksasa, seusai Douglas Burden melakukan ekspedisi tahun 1926.

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZESSatwa endemik Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Rinca, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (4/6/2012). Pulau Rinca merupakan salah satu habitat reptil purba Komodo. Berdasarkan data pada 2010 di pulau ini sendiri terdapat 1.336 ekor Komodo, sedangkan 1.288 ekor di Pulau Komodo, 86 di Pulau Nusa Kode, dan 83 di Pulau Gili Motang.
Labuan Bajo kian tersohor, setelah Taman Nasional Pulau Komodo yang menawarkan wisata selam dan satwa purba, menjadi salah satu keajaiban dunia versi New 7 Wonders.

Daerah pijakan wisatawan sebelum berkunjung ke Pulau Komodo yang tersohor itu pun kian berkembang. Senja tiba, Tim menikmati keelokan langit di pantai yang terawat. Kejutan apa lagi yang menanti Tim di Flores. (bay/mhf/ham/otw)

Danau Dendam Tak Sudah, Benteng Warga Bengkulu

Hawa panas menyapu wajah diselingi sepoi angin rawa di kawasan Cagar Alam Danau Dendam Tak Sudah, Kota Bengkulu, Minggu (6/10/2013). Hamparan air jernih membentang bergelombang kecil menyambut embusan angin, sejauh mata memandang hamparan air, hutan, rawa, dan puluhan burung kecil mengitari kawasan itu. Sarana cerdas untuk melepas suntuk dan stres bagi para pencari ketenangan.

Pemandangan di danau ini akan semakin cantik ketika lembayung senja mulai menggelayut di ujung horison langit. Tampak puluhan burung pemangsa ikan tampak menyelusup ke balik rerumputan rawa kembali ke tempat peraduan untuk berbagi kehangatan dengan keluarga. Suara burung-burung semakin menambah nikmatnya bersahabat dengan alam.

Danau Dendam Tak Sudah terletak di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan Teluk Segara, Kecamatan Selebar, dan Kecamatan Talang Empat, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Lebih tepatnya berjarak sekitar 6 km dari pusat Kota Bengkulu.

Danau seluas 577 hektare ini konon terdapat gunung berapi. Di kawasan cagar alam ini juga terdapat anggrek pensil (Vanda hookeriana), anggrek matahari, bakung, nipah, pulai, ambacang rawa, terentang, plawi, brosong, gelam, pakis, dan sikeduduk.

Anggrek pensil diyakini hanya tumbuh di kawasan ini, satu-satunya di dunia. Tak salah jika pemerintah menetapkan daerah ini sebagai kawasan cagar alam. Pertama kali ditetapkan sebagai Cagar Alam sejak tanggal 17 Juni 1936 berdasarkan Besluit Tuan Besar Gubernur Jenderal Belanda No. 36 stb 1936 No. 325.

Penetapan kawasan ini sebagai kawasan konservasi karena terdapat habitat anggrek pensil yang banyak tumbuh secara alami di sekitar Danau Dendam Tak Sudah. Pada mulanya luas Cagar Alam ini hanya 11,5 ha. Namun karena semakin pentingya fungsi danau ini maka pemerintah memperluas kawasan konservasi ini hingga 430 ha pada tahun 1981.

Selanjutnya, tahun 1986 dilakukan penataan ulang batas kawasan yang diperluas menjadi 577 ha yang kemudian dilanjutkan dengan penetepan kawasan ini sebagai hutan suaka alam yang diberi nama Cagar Alam Danau Dusun Besar (CADDB) register 61, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 602/Kpts- II/1992.

Selain pertimbangan tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu, Benny Ardiansyah mengemukakan ketika penjajahan Belanda kawasan ini dijadikan sebagai benteng terakhir penyuplai air bersih di kota Bengkulu, Karena memiliki peran penting dalam sumber filternisasi (penyaringan) air bersih yang ada di kota Bengkulu.

"Danau Dendam sebagai fungsi penyaring air laut di Kota Bengkulu agar tidak tercampur dengan air bersih di daerah itu," kata Benny.

Artinya, selain fungsi eksotisme alam kawasan ini juga merupakan sebagai benteng kehidupan masyarakat Kota Bengkulu. Dilematis keindahan danau ini muncul ketika pemerintah daerah mulai menggencarkan pembangunan di kawasan ini terutama jalan dan rencana jalan lingkar yang digunakan sebagai transportasi angkutan batubara.

Selain itu, masyarakat lokal menganggap kawasan tersebut sebagai sumber ekonomi bagi kehidupan mereka dan sebagai tempat yang sakral melalui tradisi kepercayaan. Pemerintah seolah gamang antara mempertahankan status kawasan cagar alam yang tidak dapat diganggu gugat atau tetap membiarkan kawasan ini berkembang seiring zaman berpacu.

Tanggung jawab bersama bagaimana masyarakat Bengkulu dapat merawat kawasan ini agar bebas dari sampah menjadikan lokasi ini sebagai tempat yang nyaman karena bagaimana pun juga Danau Dendam Tak Sudah telah memberikan jutaan manfaat bagi kehidupan masyarakat Kota Bengkulu. Tak dipungkiri semua elemen harus duduk bersatu serta bijak dalam mengelola kawasan ini tidak hanya dilihat dari sisi ekonomis namun fungsi utama kawasan harus tetap menjadi rujukan penting.

Tenun Sukarara yang Menjadi Andalan Lombok

LOMBOK seperti ingin lepas dari bayang-bayang kemasyhuran Bali dalam pariwisata. Caranya dengan menawarkan beberapa kreativitas seni dan budayanya, di antaranya melalui tenun songket. Kain tenun songket Desa Sukarara di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan produk andalan yang masih berkembang.

Desa ini terletak sekitar 20 kilometer (km) ke arah selatan dari Mataram, ibu kota NTB. Di desa ini terdapat puluhan industri rumah tangga tenun songket. Seluruh penenun adalah kaum perempuan.

Wisatawan bisa langsung menyaksikan proses pembuatan kain tenun songket. Harga sehelai kain tenun bervariasi, tergantung dari bahan benang dan motifnya. Harga kain di Balai Kesenian Tradisional Mataram pun lumayan miring. Kain dengan motif yang cukup rumit dengan warna yang beragam, jelas lebih mahal dibandingkan motif sederhana dengan dua warna benang.

Dari waktu pembuatan, kain bermotif rumit membutuhkan waktu yang lebih lama, bisa satu bulan untuk kain berukuran lebar 60 sentimeter (cm) dan panjang 200 cm. Untuk menenun satu helai kain, rata-rata diperlukan waktu 2 minggu hingga satu bulan. Harga kain hasil tenunan kaum perempuan di Balai Kesenian Tradisional ini berkisar Rp 50.000 hingga Rp 4 juta per lembar.

Berutang lebih dahulu

Usaha kain tenun songket di Mataram sebenarnya bisa lebih maju seandainya perajin tidak kesulitan modal untuk membeli benang sebagai bahan utama kain tenun. Selama ini, perajin kecil umumnya berutang lebih dahulu kepada toko penjual benang. Utang itu baru dibayar setelah kain tenun laku terjual.

Pendapatan mereka tak menentu, bergantung pada kunjungan wisatawan. Terkadang nilai transaksi dalam satu hari kurang dari Rp 100.000, tetapi di hari lain bisa jutaan rupiah.

Promosi hanya mengandalkan kedatangan wisatawan di Desa Sukarara. Berbeda dengan pemilik galeri lain yang bermodal besar, mereka bisa bekerja sama dengan agen perjalanan wisata untuk mengundang turis berkunjung ke galeri.

Perajin yang bergerak sendiri, tak mendirikan kelompok, akan sulit bertahan. Umumnya mereka kekurangan modal dan lemah dalam pemasaran. Jika bergabung ke pemodal besar, tak perlu pusing mencari modal untuk membeli benang. Ia cukup membuat kain tenun dengan bahan yang disediakan pemilik toko.

”Saya mendapat upah, jika kain tenun buatan saya dibeli pengunjung toko. Selain itu, juga kerap menerima tip dari tamu pengunjung toko yang menyaksikan saya menenun,” papar Siti Maryam, salah seorang perajin.

Siang itu, Siti mengajari kami cara menenun. Ternyata sulit juga, menghentakkan kayu kuat-kuat, agar benang-benang tersusun rapat. Selain Siti, ada enam penenun yang setiap hari membuat kain tenun songket di halaman depan toko itu. Mereka adalah penenun dari Desa Sukarara yang memilih bergabung dengan pemilik modal yang lebih besar.

Siang itu, kami juga menjumpai Rahmat, warga Surabaya, Jawa Timur, yang sedang berkunjung ke Lombok bersama rekannya. Toko dan galeri Dharma Setya, adalah salah satu tujuan yang direkomendasikan pemandu wisata mereka.

Dari nilai yang dibelanjakan wisatawan, sekitar 10 persennya untuk biro perjalanan dan pemandu wisata. Kedatangan wisatawan lokal menjadi andalan saat ini. Pasalnya, pembeli dari luar negeri, yang biasanya memborong kerajinan kayu dan kain tenun, sudah dua tahun terakhir tidak lagi datang. Krisis perekonomian global turut memukul ekonomi kreatif, seperti kerajinan tenun Lombok, kendati tidak secara langsung.

Namun, harapan tak pernah surut. Apalagi, tren kunjungan wisatawan semakin meningkat, setelah adanya Bandara Internasional Lombok. Jadi wisatawan benar-benar ke Lombok untuk berwisata, bukan hanya mampir setelah dari Bali atau sebelum ke Bali. (IDR/APO)

Obyek Wisata Kaki Dian di Minahasa Utara Tidak Terawat

Menara Kaki Dian, salah satu obyek wisata religi di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, terlihat tidak terawat dan terkesan dibiarkan begitu saja. Padahal menara itu merupakan bangunan replika Kaki Dian tertinggi di dunia.

"Banyak sekali sampah dan di sana sini terlihat coretan yang mengotori dan mengurangi keindahan bangunan ini," ujar Iker, salah satu pengunjung dari Manado, Minggu (6/10/2013).

Selain sampah dan coretan yang mengganggu, lokasi wisata yang terletak di perbukitan Gunung Klabat pada ketinggian sekitar 600 meter tersebut juga tidak tersedia toilet. Dua buah toilet yang ada terlihat rusak berat, sehingga pengunjung yang datang harus mencari celah di semak-semak jika harus terpaksa buang air kecil.

Beberapa bangunan pendukungnya, seperti dua pendopo yang berada di samping kiri kanan menara yang juga menjadi maskot Minahasa Utara itu terlihat tidak terawat. Padahal ketikaKompas.com menyambangi lokasi wisata ini terdapat banyak pengunjung yang masih mendatangi menara lambang rohani tersebut.

Kaki Dian sendiri memiliki tinggi 19 meter dengan dasar menara seluas 8 x 8 meter. Menara Kaki Dian memiliki tujuh cabang lampu sebagaimana lambang dan peralatan rohani yang tercantum dalam Alkitab.

Letaknya yang sangat strategis di perbukitan Gunung Klabat membuat monumen tersebut terlihat dengan sangat jelas dari Airmadidi dan sekitarnya sebagai ibu kota Minahasa Utara. Dari lokasi berdirinya Kaki Dian tersaji pula pemandangan yang tidak kalah indahnya. Pengunjung bisa melihat panorama Kota Manado dan sekitarnya.

Bahkan pemandangan Teluk Manado dan jajaran pulau-pulaunya terlihat dengan sangat jelas dari sini. Demikian pula pemandangan pemukiman penduduk dan pengunungan hijau di daerah Minahasa terpampang dengan sangat indahnya dari Kaki Dian.

Tidak susah mencapai lokasi ini dari Manado. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit berkendaraan untuk sampai di Airmadidi. Dari ruas jalan Manado-Bitung ke titik lokasi Kaki Dian berjarak sekitar 2 kilometer. Sayang lokasi wisata religi ini terkesan terbiarkan setelah dibangun dengan anggaran miliaran rupiah.

Keindahan Laut dan Gunung Bersatu di Flores

Perjalanan tim Ekspedisi Sabang-Merauke: Kota dan Jejak Peradaban harian Kompas memasuki hari ke-17. Dari tepi Laut Flores di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Minggu (6/10/2013), kami berkendara menuju Bajawa, kota sejuk dekat gunung api Inerie di Kabupaten Ngada.

Kami singgah di Ruteng, Manggarai, menanti Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono dan rombongan yang berkunjung ke Flores. Dengan antusias, Bambang menyetir jip menikmati hutan bambu, pegunungan, dan jalan berkelok sambil meninjau bandara dan pelabuhan yang dilalui dari Ruteng ke Bajawa.

Bupati Manggarai Christian Rotok dan jajaran pimpinan daerah pun menjamu Bambang dan rombongan makan siang di rumah dinas. Rotok memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta Kementerian Perhubungan menganggarkan pembangunan terminal, pelabuhan, dan penyempurnaan Bandara Frans Sales Lega, Ruteng.

Bambang mengatakan, pembangunan infrastruktur tetap harus dibarengi penciptaan iklim investasi yang kondusif demi menggerakkan aktivitas ekonomi daerah. ”Tanpa iklim investasi yang bagus, perkembangan lanjutan yang diharapkan dari pembangunan infrastruktur sulit tercapai,” kata Bambang.

Dalam hal infrastruktur, aspal mulus terbentang sepanjang 262 kilometer (km) dari Labuan Bajo ke Bajawa. Pekerjaan melebarkan jalan dan melapis aspal masih terlihat di beberapa ruas jalan.

Dua jam berkendara dari Labuan Bajo, kami menemukan jalan mulus nan lurus sepanjang sekitar 4 km yang diapit hamparan sawah yang menguning di Desa Poco Rutang, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat. Kami berhenti sejenak.

Anggota tim yang sempat teler karena mabuk darat setelah melewati jalan berliku, mendaki, dan menurun tampak melompat turun dari mobil. Pewarta foto kami dengan sigap mengabadikan keindahan alam lumbung pangan NTT tersebut.

Keindahan Lembor ibarat oase di Pulau Flores yang dilanda kemarau. Keindahan Laut Flores dengan gradasi air warna hijau dan biru benar-benar bersatu dengan keindahan pegunungan.

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZESPemandangan matahari terbenam dari desa Darat Pantai, Kabupaten Sikka, Flores Nusa Tenggara Timur, Sabtu (26/5/2012).
Dari sini, kami singgah di Pelabuhan Aimere, Ngada, yang melayani penyeberangan ke Kupang dan Waingapu, NTT, dua kali dalam satu minggu. Kondisi pelabuhan ini memprihatinkan. Sebagian besar besi dermaga berkarat.

”Dana perawatan hanya Rp 500.000,” kata Rosdopo, Kepala Pelabuhan Aimere. Bambang pun tercengang. Pantas saja besi-besi dermaga berkarat. Jembatan bergerak dermaga untuk pintu palka feri lumpuh karena kabel baja diputus warga.

Aimere terkenal sebagai daerah penghasil minuman keras khas Flores, sofi. Dari sini, kami kembali berkendara mendaki menuju Bajawa sambil menikmati keindahan Gunung Inerie, sebuah gunung api yang berpuncak lancip.

Kami tiba di Bajawa persis saat bulan sabit telah bersinar terang. (bay/mhf/otw/ham)

Pariwisata Basis Kuat Kerja Sama RI-Selandia Baru

Bahasa Maori mirip dengan Bahasa Indonesia. Lebih dari itu, keindahan alam, tidak saja hanya menjadi kekuatan daya tarik Selandia Baru, tapi juga Indonesia. Selandia Baru menjadi pionir pengembangan pariwisata berbasis keindahan alam termasuk membangun taman nasional dalam semangat menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan hidup.

Demikian sepotong kalimat pendek PM Selandia Baru John Philip Key di acara konferensi Tri Hita Karana, Pariwisata dan Pembangunan yang berkelanjutan di BNDCC-Bali, 6 Oktober 2013.

Dalam kesempatan ini tampak hadir Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, Duta Besar Selandia Baru di Jakarta David Taylor, Kepala Perwakilan/Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Wellington PLE Priatna, dan para pengusaha yang bergerak di bidang industri pariwisata.

Siaran pers KBRI Wellington, Minggu (6/10/2013) menyebutkan mantan Menteri Pariwisata Selandia Baru tahun 2008 ini kembali menegaskan bahwa industri pariwisata yang berbasis keindahan alam dapat menjadi kekuatan daya tarik bagi banyak negara, termasuk Indonesia.

KBRI Wellington bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dan biro penerbangan Air New Zealand, baru saja yakni pada 25 September hingga 2 Oktober 2013 menyelenggarakan program “Family Trip” ke Bali bagi para wartawan dan agen biro perjalanan wisata Selandia Baru.

“Sebanyak lima warga New Zealand yang berprofesi sebagai jurnalis ataupun penulis perjalanan sekaliber Chris Hyde (Fairfax Media), Rowena Bahl (Destinations Magazine), Tim Rainger (Clean Media), Stacey Reader (GO Holidays) and Nathan Beale (GO Holidays), pengelola biro perjalanan, kita kirimkan ke Bali," demikian Kepala Perwakilan/Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Wellington, PLE Priatna di sela-sela pertemuan APEC di Bali.

GO Holidays merupakan travel operator yang terbesar di Selandia Baru, khususnya dalam hal pasar wisatawan ke Bali, sementara salah seorang jurnalis merupakan wakil dari Fairfax Media, salah satu perusahaan penerbitan pers yang terbesar di Selandia Baru.

Jurnalis lainnya merupakan salah satu videographer terkemuka di Selandia Baru yang akan memuat hasil perjalanan wisatanya melalui internet. Rowena Bahl dari Destinations Magazine berpartisipasi pada kegiatan ini untuk mengkhususkan liputannya pada Bali sebagai tujuan upacara pernikahan (wedding ceremonies).

KOMPAS IMAGES/KRISTAINTO PURNOMOILUSTRASI - Wisatawan mengunjungi lokasi wisata Pura Ulu Watu, Bali, Selasa (1/1/2011). Berdasar data Dinas Pariwisata Bali, hingga Agustus 2011 jumlah wisatawan yang berkunjung di Bali mencapai 1.8 juta wisatawan.
"Menurut data Selandia Baru sebanyak 11.928 wisatawan Selandia Baru berkunjung ke Indonesia pada tahun 2011. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 16 persen menjadi 13.800 di tahun 2012. Untuk menanggapi permintaan pasar, Air New Zealand telah menyediakan penerbangan langsung Auckland–Denpasar pada bulan Juni sampai Oktober setiap tahunnya. Tahun ini merupakan tahun kedua dan diperkirakan akan berlanjut tahun berikutnya," kata Priatna.

Kerja sama Indonesia-Selandia Baru ini merupakan momentum tepat bagi perusahaan penerbangan Garuda atau AirAsia untuk segera menangkap peluang membuka penerbangan langsung Jakarta-Wellington ataupun Denpasar-Welington untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dari Selandia Baru ke Indonesia. (*)

Tune Hotel Melbourne Buka Lebih Awal

Tune Hotel Melbourne, Australia, akan buka hampir dua minggu lebih awal dari jadwal semula pada 1 November 2013. Untuk merayakannya, semua kamar akan ditawarkan dengan harga 50 dollar Australia semalam termasuk layanan tambahan.

Pada acara serah terima gedung baru, Jumat (4/10/2013), Grup CEO Tune Hotel, Mark Lankester mengumumkan bahwa properti Tune Hotel pertama di Australia ini akan memajukan tanggal pembukaannya menjadi 21 Oktober 2013.

“Meskipun pembukaan resmi hotel dijadwalkan pada 1 November, kami mengumumkan bahwa kami lebih cepat dari jadwal dan akan memajukan tanggal pembukaan menjadi 21 Oktober 2013," katanya.

Menurut Mark, dalam hal pembangunan dan pengembangan, segalanya tidak selalu berjalan dengan mulus. "Kami senang proyek ini berjalan lancar. Untuk merayakannya, kami menawarkan seluruh kamar untuk menginap dari 21-31 Oktober 2013 dengan harga promosi hanya 50 dollar AS per malam. Untuk menambah kenyamanan, kami juga memberikan Paket Nyaman tanpa biaya tambahan lagi bagi para tamu," katanya.

“Kami tahu kami adalah pendatang baru ke dalam dunia perhotelan Melbourne dan juga memiliki model bisnis berbeda yang agak baru bagi Australia," sambung Mark.

Mark melanjutkan, penawaran ini berlaku untuk semua jenis kamar yakni double, twin dan family. Paket Nyaman yang disediakan termasuk satu buah handuk sewaan dengan perlengkapan mandi, sambungan internet nirkabel kecepatan tinggi dan juga tayangan hiburan televisi Foxtel.

"Promosi ini hanya dapat diperoleh di www.tunehotels.com dari tengah malam 4 Oktober 2013 hingga 30 Oktober 2013. Promosi ini tersedia degan konsep siapa-cepat-dia-dapat dan tergantung pada ketersediaan kamar," paparnya.

WWW.TUNEHOTELS.COMKamar tipe Family di Tune Hotel Melbourne, Australia
Tune Hotel Melbourne yang berkapasitas 225 kamar ini berada di Jalan 609 Swanston, Carlton dan terletak berdekatan dengan Universitas Melbourne. Hanya berjarak dua jalan dari Lygon Street, dan berjalan kaki singkat ke Queen Victora Market serta beberapa menit dari Pusat Distrik Bisnis Melbourne.

Tune Hotel Melbourne memiliki halaman dalam ruang, ruang rekreasi, restoran, cafe/toko serba ada, ruang penyimpanan bagasi, binatu swalayan dan kios komputer. Hotel juga dilengkapi dengan parkir bawah tanah, sesuatu yang tidak biasa untuk ukuran hotel pusat kota di Australia. (*)

Menapaki Sisa-sisa Sejarah Kota Tangerang

Matahari baru saja menampakkan wajahnya yang bundar sempurna berwarna jingga pekat pagi itu. Seolah memberikan semangat pada saya yang hari itu akan melakukan sebuah perjalanan panjang menapaki sisa-sisa sejarah di kota tetangga, Tangerang.

Waktu baru menunjukkan pukul 05.50, tapi saya sudah sampai di Stasiun Cakung untuk melakukan perjalanan menuju ke Tangerang menggunakan Commuter Line. Hari itu, Minggu (29/9/2013), saya dan komunitas Love Our Heritage (LOH) akan melakukan Jelajah Kota Tangerang selama sehari. Tak sabar rasanya bertemu mereka di Stasiun Tangerang nanti, tempat kami merencanakan pertemuan hari itu.

Sekitar pukul 06.00 kereta sudah datang. Artinya, saat itu pula perjalanan saya dimulai. Untuk sampai di Kota Tangerang saya harus melewati 17 stasiun dengan dua kali transit di Stasiun Manggarai dan Stasiun Duri. Senangnya melakukan perjalanan dengan Commuter Line di hari Minggu, tidak banyak penumpang yang berjejalan di gerbong kereta. Bahkan gerbong kereta terasa amat lengang dan banyak tempat duduk yang masih kosong. Andai saja, kondisi ini bisa didapatkan setiap hari, pasti banyak masyarakat yang mau menggunakan moda transportasi umum ini.

Menempuh perjalanan selama dua jam lamanya, akhirnya saya menginjakkan kaki di kota Tangerang. Saat turun dari kereta saya langsung mencari teman-teman Komunitas LOH, tidak sabar rasanya menyusuri kekayaan sejarah kota Tangerang. Memang benar kata pepatah, kalau jodoh tak akan lari ke mana. Ternyata saya satu perjalanan dengan teman-teman LOH sejak dari Stasiun Duri, tapi sayangnya kami berada di gerbong yang berbeda.

Kemudian, kami pun berkumpul di peron untuk menunggu teman-teman lain yang masih dalam perjalanan menuju Tangerang. Sementara menunggu, kami dibagikan sinopsis perjalanan sebagai penduan wisata yang akan kami jalankan selama sehari.

Saatnya Memulai Perjalanan

Hari itu, kami akan menjelajahi kawasan Pasar Lama, Tangerang, dengan rute perjalanan Nasi Uduk Encim Sukaria, Sungai Cisadane, Kelenteng Boen Tek Bio, Masjid Jami Kalipasir, dan Museum Benteng Heritage. Untuk menjelajahi tempat-tempat tersebut, kami lakukan dengan berjalan kaki.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNISuasana Pasar Lama, Tangerang, salah satu ikon sejarah Kota Tangerang yang berada dekat Sungai Cisadane. Pasar Lama Tangerang merupakan pasar tradisional tertua yang pernah ada dan merupakan cikal bakal Kota Tangerang.
Tapi, dari Stasiun Tangerang menuju Nasi Uduk Encim Sukaria, kami harus menggunakan angkutan umum karena jaraknya cukup jauh. Nasi Uduk Encim Sukaria merupakan salah satu kuliner terkenal di Tangerang yang terletak di jantung kota, yaitu di Jalan KH Soleh Ali. Sayangnya, kami belum bisa mencicipi lezatnya menu di sana karena warungnya tutup. Akhirnya kami pun sarapan di warung sekitar yang menawarkan soto mie, soto babat, soto daging, dan ada juga ketoprak.

Perut telah terisi, begitu juga dengan tenaga. Saatnya melanjutkan Jelajah Kota Tangerang. Tempat selanjutnya kami akan menuju Sungai Cisadane. Untuk bisa sampai ke Sungai Cisadane kami jalan kaki selama 10 menit.

Dalam perjalanan, Ferry, pemandu wisata dari Komunitas LOH, menjelaskan tentang sejarah Tangerang yang disebut sebagai Kota Benteng. Pada zaman penjajahan Belanda, dibangun benteng pertahanan di dekat Sungai Cisadane yang digunakan sebagai benteng pertahanan dari serangan Kesultanan Banten.

Itulah sebabnya mengapa warga yang tinggal di kawasan tersebut diberi julukan Cina Benteng. Selain berada di kawasan bekas benteng, kebanyakan warga di kawasan tersebut merupakan keturunan etnis Tionghoa yang menempati wilayah itu sejak lama.

Setelah melewati permukiman penduduk dan satu gang sempit, akhirnya kami pun sampai di tepi Sungai Cisadane. Sungai yang berhulu di Gunung Salak-Pangrango di sebelah selatan Kabupaten Tangerang ini, membentang kokoh membelah sebagian kota Tangerang.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNISungai Cisadane, yang berhulu di Gunung Salak-Pangrango di sebelah selatan Kabupaten Tangerang, membentang kokoh membelah sebagian kota Tangerang. Sejak dulu hingga kini Sungai Cisadane masih dijadikan sumber penghasila oleh warga setempat.
Dulu, Sungai Cisadane dimanfaatkan sebagai untuk pengairan dan bahan baku air minum PDAM setempat.  Kini, pemerintah setempat tampak serius menjaga kelestarian sungai dengan cara membersihkan sungai sebanyak tiga kali sebulan juga membangun ruang terbuka hijau di beberapa titik di bantaran sungai. Selain itu, Sungai Cisadane memiliki festival besar, yaitu Festival Perahu Naga atau Festival Pecun yang diselenggarakan tiap tahunnya.

Menyusuri Sudut Pasar Lama

Salah satu pusat sejarah Kota Tangerang yang masih menampakkan sisa-sisa masa lampau adalah kawasan Pasar Lama. Letaknya tidak jauh dari Sungai Cisadane. Pasar Lama Tangerang merupakan pasar tradisional tertua yang pernah ada dan merupakan cikal bakal Kota Tangerang.

Memasuki kawasan Pasar Lama, nuansa keberadaan etnis Tionghoa sangat terasa. Mulai dari bangunan rumah penduduk yang masih mempertahankan bentuk aslinya, sampai pada makanan yang dijual di sepanjang jalan. Sebagai tempat bernaung etnis Tionghoa, di kawasan ini terdapat Kelenteng Boen Tek Bio juga Museum Benteng Heritage yang merupakan sumber sejarah etnis Tionghoa di Tangerang.

Kelenteng Boen Tek Bio

Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama dikenal sebagai kelenteng tertua di Tangerang yang diperkirakan sudah berumur 300 tahun. Kelenteng yang hanya mengalami renovasi sekali pada tahun 1844 ini, merupakan salah satu dari ketiga kelenteng besar yang berpengaruh serta berusia tua di Tangerang. Dua kelenteng tua lainnya adalah Boen San Bio dan Boen Hay Bio yang berusia hampir sama.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIKelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama Tangerang dikenal sebagai kelenteng tertua di Kota Tangerang, Banten, yang berusia sekitar 300 tahun.
Memasuki kawasan kelenteng kami pun disambut dengan asap hio yang mengepul dari tempat peribadatan. Aromanya begitu khas. Saat itu, kelenteng memang dipenuhi warga Tionghoa yang sedang beribadah.

Di area belakang kelenteng Boen Tek Bio juga terdapat sebuah vihara yang bernama Vihara Padumuttara. Tempat peribadatan umat Buddha itu besar dan bersih. Anda bisa merasakan kesejukan ketika berada di dalam vihara.

Masjid Jami Kali Pasir

Tidak jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio, terdapat tempat ibadah umat Islam yang juga merupakan bangunan tua, Masjid Jami Kali Pasir. Masjid dengan nuansa hijau putih tersebut sudah mengalami banyak perubahan dari kondisi awalnya. Hanya dua sisi bangunan yang masih utuh dipertahankan, yakni empat tiang di dalam masjid, dan kubah kecil bermotif China di atas masjid.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIMasjid Jami Kali Pasir merupakan tua bernuansa Tionghoa yang terkenal di Tangerang. Masjid dengan luas 16x18 meter persegi ini berada di tengah pemukiman padat penduduk di kawasan Pasar Lama, Tangerang, Banten.
Saat ini posisi masjid terletak di tengah pemukiman penduduk yang begitu padat. Hal ini membuat masjid tidak mempunyai halaman. Itu pula yang menjadi salah satu alasan sulit untuk mengabadikan gambar utuh masjid ini.

Museum Benteng Heritage

Masih di kawasan Pasar Lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah Museum Benteng Heritage. Museum pribadi milik Udaya Halim ini merupakan hasil restorasi dari sebuah bangunan tua berarsitektur tradisional Tionghoa yang diduga dibangun pada sekitar abad ke-17. Bangunan ini juga merupakan bangunan tertua di Tangerang dengan unsur Tionghoa yang amat kental.

Bangunan yang berada di tengah Pasar Lama ini, memiliki dua tingkat. Lantai satu museum dijadikan sebagai restoran, tempat gathering, penjualan suvenir, dan sebagainya. Sedangkan di lantai dualah baru kita bisa menemukan berbagai barang antik koleksi museum. Museum ini menyimpan berbagai barang yang berkaitan dengan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia serta berbagai artefak yang menjadi saksi bisu masa lalu.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIPatung Buddha di Vihara Padumuttara yang terletak di belakang Kelenteng Boen Tek Bio kawasan Pasar Lama, Tangerang, Banten.
Museum yang mendapat julukan Pearl of Tangerang ini juga banyak mendapatkan penghargaan. Dalam ajang FIABCI (Federation Internationals des Administrateurs de Bien-Conselis Immobiliers) Indonesia, Museum Benteng Heritage mendapat juara pertama untuk kategori Heritage, mengalahkan Bank Indonesia, pada 2012 lalu. Tidak sampai di situ, di tingkat internasional FIABCI Prix d’excellent Award pun museum ini berhasil menyabet juara kedua dalam kategori yang sama tahun 2013.

Museum Benteng Heritage pun menjadi saksi perjalanan panjang kami membuka masa lalu kota Tangerang dalam Jelajah Kota Tangerang bersama Komunitas LOH. Tidak lupa momen bersejarah di tempat bersejarah juga harus diabadikan. Setelah berfoto di museum kami pun kembali pulang ke tempat masing-masing. Benar-benar perjalanan yang mengesankan...

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIJemaah sedang menyalakan hio untuk beribadah di Kelenteng Boen Tek Bio, Pasar Lama, Tangerang, Banten.

Menapaki Sisa-sisa Sejarah Kota Tangerang

Matahari baru saja menampakkan wajahnya yang bundar sempurna berwarna jingga pekat pagi itu. Seolah memberikan semangat pada saya yang hari itu akan melakukan sebuah perjalanan panjang menapaki sisa-sisa sejarah di kota tetangga, Tangerang.

Waktu baru menunjukkan pukul 05.50, tapi saya sudah sampai di Stasiun Cakung untuk melakukan perjalanan menuju ke Tangerang menggunakan Commuter Line. Hari itu, Minggu (29/9/2013), saya dan komunitas Love Our Heritage (LOH) akan melakukan Jelajah Kota Tangerang selama sehari. Tak sabar rasanya bertemu mereka di Stasiun Tangerang nanti, tempat kami merencanakan pertemuan hari itu.

Sekitar pukul 06.00 kereta sudah datang. Artinya, saat itu pula perjalanan saya dimulai. Untuk sampai di Kota Tangerang saya harus melewati 17 stasiun dengan dua kali transit di Stasiun Manggarai dan Stasiun Duri. Senangnya melakukan perjalanan dengan Commuter Line di hari Minggu, tidak banyak penumpang yang berjejalan di gerbong kereta. Bahkan gerbong kereta terasa amat lengang dan banyak tempat duduk yang masih kosong. Andai saja, kondisi ini bisa didapatkan setiap hari, pasti banyak masyarakat yang mau menggunakan moda transportasi umum ini.

Menempuh perjalanan selama dua jam lamanya, akhirnya saya menginjakkan kaki di kota Tangerang. Saat turun dari kereta saya langsung mencari teman-teman Komunitas LOH, tidak sabar rasanya menyusuri kekayaan sejarah kota Tangerang. Memang benar kata pepatah, kalau jodoh tak akan lari ke mana. Ternyata saya satu perjalanan dengan teman-teman LOH sejak dari Stasiun Duri, tapi sayangnya kami berada di gerbong yang berbeda.

Kemudian, kami pun berkumpul di peron untuk menunggu teman-teman lain yang masih dalam perjalanan menuju Tangerang. Sementara menunggu, kami dibagikan sinopsis perjalanan sebagai penduan wisata yang akan kami jalankan selama sehari.

Saatnya Memulai Perjalanan

Hari itu, kami akan menjelajahi kawasan Pasar Lama, Tangerang, dengan rute perjalanan Nasi Uduk Encim Sukaria, Sungai Cisadane, Kelenteng Boen Tek Bio, Masjid Jami Kalipasir, dan Museum Benteng Heritage. Untuk menjelajahi tempat-tempat tersebut, kami lakukan dengan berjalan kaki.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNISuasana Pasar Lama, Tangerang, salah satu ikon sejarah Kota Tangerang yang berada dekat Sungai Cisadane. Pasar Lama Tangerang merupakan pasar tradisional tertua yang pernah ada dan merupakan cikal bakal Kota Tangerang.
Tapi, dari Stasiun Tangerang menuju Nasi Uduk Encim Sukaria, kami harus menggunakan angkutan umum karena jaraknya cukup jauh. Nasi Uduk Encim Sukaria merupakan salah satu kuliner terkenal di Tangerang yang terletak di jantung kota, yaitu di Jalan KH Soleh Ali. Sayangnya, kami belum bisa mencicipi lezatnya menu di sana karena warungnya tutup. Akhirnya kami pun sarapan di warung sekitar yang menawarkan soto mie, soto babat, soto daging, dan ada juga ketoprak.

Perut telah terisi, begitu juga dengan tenaga. Saatnya melanjutkan Jelajah Kota Tangerang. Tempat selanjutnya kami akan menuju Sungai Cisadane. Untuk bisa sampai ke Sungai Cisadane kami jalan kaki selama 10 menit.

Dalam perjalanan, Ferry, pemandu wisata dari Komunitas LOH, menjelaskan tentang sejarah Tangerang yang disebut sebagai Kota Benteng. Pada zaman penjajahan Belanda, dibangun benteng pertahanan di dekat Sungai Cisadane yang digunakan sebagai benteng pertahanan dari serangan Kesultanan Banten.

Itulah sebabnya mengapa warga yang tinggal di kawasan tersebut diberi julukan Cina Benteng. Selain berada di kawasan bekas benteng, kebanyakan warga di kawasan tersebut merupakan keturunan etnis Tionghoa yang menempati wilayah itu sejak lama.

Setelah melewati permukiman penduduk dan satu gang sempit, akhirnya kami pun sampai di tepi Sungai Cisadane. Sungai yang berhulu di Gunung Salak-Pangrango di sebelah selatan Kabupaten Tangerang ini, membentang kokoh membelah sebagian kota Tangerang.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNISungai Cisadane, yang berhulu di Gunung Salak-Pangrango di sebelah selatan Kabupaten Tangerang, membentang kokoh membelah sebagian kota Tangerang. Sejak dulu hingga kini Sungai Cisadane masih dijadikan sumber penghasila oleh warga setempat.
Dulu, Sungai Cisadane dimanfaatkan sebagai untuk pengairan dan bahan baku air minum PDAM setempat.  Kini, pemerintah setempat tampak serius menjaga kelestarian sungai dengan cara membersihkan sungai sebanyak tiga kali sebulan juga membangun ruang terbuka hijau di beberapa titik di bantaran sungai. Selain itu, Sungai Cisadane memiliki festival besar, yaitu Festival Perahu Naga atau Festival Pecun yang diselenggarakan tiap tahunnya.

Menyusuri Sudut Pasar Lama

Salah satu pusat sejarah Kota Tangerang yang masih menampakkan sisa-sisa masa lampau adalah kawasan Pasar Lama. Letaknya tidak jauh dari Sungai Cisadane. Pasar Lama Tangerang merupakan pasar tradisional tertua yang pernah ada dan merupakan cikal bakal Kota Tangerang.

Memasuki kawasan Pasar Lama, nuansa keberadaan etnis Tionghoa sangat terasa. Mulai dari bangunan rumah penduduk yang masih mempertahankan bentuk aslinya, sampai pada makanan yang dijual di sepanjang jalan. Sebagai tempat bernaung etnis Tionghoa, di kawasan ini terdapat Kelenteng Boen Tek Bio juga Museum Benteng Heritage yang merupakan sumber sejarah etnis Tionghoa di Tangerang.

Kelenteng Boen Tek Bio

Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama dikenal sebagai kelenteng tertua di Tangerang yang diperkirakan sudah berumur 300 tahun. Kelenteng yang hanya mengalami renovasi sekali pada tahun 1844 ini, merupakan salah satu dari ketiga kelenteng besar yang berpengaruh serta berusia tua di Tangerang. Dua kelenteng tua lainnya adalah Boen San Bio dan Boen Hay Bio yang berusia hampir sama.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIKelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama Tangerang dikenal sebagai kelenteng tertua di Kota Tangerang, Banten, yang berusia sekitar 300 tahun.
Memasuki kawasan kelenteng kami pun disambut dengan asap hio yang mengepul dari tempat peribadatan. Aromanya begitu khas. Saat itu, kelenteng memang dipenuhi warga Tionghoa yang sedang beribadah.

Di area belakang kelenteng Boen Tek Bio juga terdapat sebuah vihara yang bernama Vihara Padumuttara. Tempat peribadatan umat Buddha itu besar dan bersih. Anda bisa merasakan kesejukan ketika berada di dalam vihara.

Masjid Jami Kali Pasir

Tidak jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio, terdapat tempat ibadah umat Islam yang juga merupakan bangunan tua, Masjid Jami Kali Pasir. Masjid dengan nuansa hijau putih tersebut sudah mengalami banyak perubahan dari kondisi awalnya. Hanya dua sisi bangunan yang masih utuh dipertahankan, yakni empat tiang di dalam masjid, dan kubah kecil bermotif China di atas masjid.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIMasjid Jami Kali Pasir merupakan tua bernuansa Tionghoa yang terkenal di Tangerang. Masjid dengan luas 16x18 meter persegi ini berada di tengah pemukiman padat penduduk di kawasan Pasar Lama, Tangerang, Banten.
Saat ini posisi masjid terletak di tengah pemukiman penduduk yang begitu padat. Hal ini membuat masjid tidak mempunyai halaman. Itu pula yang menjadi salah satu alasan sulit untuk mengabadikan gambar utuh masjid ini.

Museum Benteng Heritage

Masih di kawasan Pasar Lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah Museum Benteng Heritage. Museum pribadi milik Udaya Halim ini merupakan hasil restorasi dari sebuah bangunan tua berarsitektur tradisional Tionghoa yang diduga dibangun pada sekitar abad ke-17. Bangunan ini juga merupakan bangunan tertua di Tangerang dengan unsur Tionghoa yang amat kental.

Bangunan yang berada di tengah Pasar Lama ini, memiliki dua tingkat. Lantai satu museum dijadikan sebagai restoran, tempat gathering, penjualan suvenir, dan sebagainya. Sedangkan di lantai dualah baru kita bisa menemukan berbagai barang antik koleksi museum. Museum ini menyimpan berbagai barang yang berkaitan dengan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia serta berbagai artefak yang menjadi saksi bisu masa lalu.

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIPatung Buddha di Vihara Padumuttara yang terletak di belakang Kelenteng Boen Tek Bio kawasan Pasar Lama, Tangerang, Banten.
Museum yang mendapat julukan Pearl of Tangerang ini juga banyak mendapatkan penghargaan. Dalam ajang FIABCI (Federation Internationals des Administrateurs de Bien-Conselis Immobiliers) Indonesia, Museum Benteng Heritage mendapat juara pertama untuk kategori Heritage, mengalahkan Bank Indonesia, pada 2012 lalu. Tidak sampai di situ, di tingkat internasional FIABCI Prix d’excellent Award pun museum ini berhasil menyabet juara kedua dalam kategori yang sama tahun 2013.

Museum Benteng Heritage pun menjadi saksi perjalanan panjang kami membuka masa lalu kota Tangerang dalam Jelajah Kota Tangerang bersama Komunitas LOH. Tidak lupa momen bersejarah di tempat bersejarah juga harus diabadikan. Setelah berfoto di museum kami pun kembali pulang ke tempat masing-masing. Benar-benar perjalanan yang mengesankan...

KOMPAS.COM/TRI WAHYUNIJemaah sedang menyalakan hio untuk beribadah di Kelenteng Boen Tek Bio, Pasar Lama, Tangerang, Banten.