Hanya sekelompok tertentu bisa menikmati sebagian besar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi saat ini. Masyarakat di sekitar sentra pertumbuhan ekonomi hampir tidak mencicipinya.
Sebut saja di perkebunan kelapa sawit. Siapa yang bekerja di perkebunan itu? Bukan masyarakat di sekitar, tetapi para pekerja yang didatangkan dari luar wilayah.
Kondisi tersebut disebabkan oleh rendahnya pendidikan masyarakat sekitar. Mereka tidak memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan lembaga pendidikan yang cocok untuk mengatasinya.
Pendidikan vokasi dianggap paling pas untuk memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi lulusannya, sehingga dapat langsung bekerja di sentra pertumbuhan ekonomi itu. Melalui Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), pemerintah menggagas pendirian akademi komunitas (AK). Suatu bentuk perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu atau diploma dua.
Penyelenggara AK dapat diinisiasi oleh pemerintah daerah maupun masyarakat dan menggandeng dunia usaha/dunia industri (DUDI). Pendidikan tersebut bisa diselenggarakan di SMK melalui politeknik, institusi pendidikan tinggi lainnya, maupun pendirian institusi baru yang mandiri dalam bentuk AK.
Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (16/10/2013) lalu, meresmikan Akademi Komunitas Negeri Pacitan, yang merupakan AK negeri pertama di Indonesia. Pada tahap awal, kampus ini akan menerima 120 mahasiswa jenjang diploma 1. Program studi pilihan terdiri atas teknik informatika, multimedia, dan animasi.
Presiden menyambut baik pendirian akademi komunitas. Presiden mengatakan, akademi komunitas lebih tepat didirikan di setiap kabupaten karena akademisi komunitas mencetak lulusan terdidik, yang siap masuk dunia kerja dan wiraswasta.
AK dapat didirikan di sekitar lokasi perkebunan kelapa sawit, sehingga memudahkan akses masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan. Program AK terdiri atas satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus. Para lulusan AK nantinya diharapkan dapat langsung bekerja di sentra pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Djoko Santoso menjelaskan model perkuliahan di AK. Menurut dia, berbeda dengan perkuliahan di universitas, di AK pengaturannya lebih fleksibel. Jika perkuliahan di universitas harus terus menerus mengikuti perkuliahan selama kurun waktu tertentu, di AK mahasiswa dapat "keluar-masuk" kampus.
Mereka dapat menempuh kuliah selama satu semester, kemudian keluar dulu untuk bekerja dan kembali lagi kuliah. Kurikulumnya pun memiliki fleksibilitas yang tinggi. Mahasiswa dituntut harus bisa bekerja sesuai dengan bidang yang akan dia tekuni.
Kemudian, siapa tenaga pengajar di AK? Selain dosen yang berlatar belakang pendidikan formal, para pengajarnya juga berasal dari kalangan profesional di bidangnya. Semua orang yang secara profesional bekerja di kebun kelapa sawit tadi bisa mengajar kepada mahasiswa. Kualifikasi pendidikan untuk dosen adalah lulusan D3 s.d. S3 atau profesional setara level 5 s.d. level 9 mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Lalu apa keuntungan bagi pihak industri yang mempekerjakan lulusan AK? Selama ini perusahaan banyak merekrut lulusan sarjana. Padahal kebutuhannya hanya untuk melakukan pengukuran di kebun kelapa sawit. Dari sisi industri, tentu akan membayar lebih mahal, sedangkan dari sisi masyarakat sekitar tidak ikut terlibat. Kalau dibuka AK program pengukuran maka tidak perlu sarjana lagi.
Pendidikannya pun cukup satu atau dua tahun saja, sehingga ada kaitan erat antara pertumbuhan industri dengan di sekitarnya. Masyarakat pun menikmati pendidikan tinggi pada level D1 dan D2. Adanya AK juga mendukung upaya pemerintah untuk merealisasikan target 60 persen tenaga kerja berasal dari masyarakat sekitarnya. (ASW/PEN)
Sebut saja di perkebunan kelapa sawit. Siapa yang bekerja di perkebunan itu? Bukan masyarakat di sekitar, tetapi para pekerja yang didatangkan dari luar wilayah.
Kondisi tersebut disebabkan oleh rendahnya pendidikan masyarakat sekitar. Mereka tidak memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan lembaga pendidikan yang cocok untuk mengatasinya.
Pendidikan vokasi dianggap paling pas untuk memberikan bekal ilmu dan keterampilan bagi lulusannya, sehingga dapat langsung bekerja di sentra pertumbuhan ekonomi itu. Melalui Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), pemerintah menggagas pendirian akademi komunitas (AK). Suatu bentuk perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu atau diploma dua.
Penyelenggara AK dapat diinisiasi oleh pemerintah daerah maupun masyarakat dan menggandeng dunia usaha/dunia industri (DUDI). Pendidikan tersebut bisa diselenggarakan di SMK melalui politeknik, institusi pendidikan tinggi lainnya, maupun pendirian institusi baru yang mandiri dalam bentuk AK.
Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (16/10/2013) lalu, meresmikan Akademi Komunitas Negeri Pacitan, yang merupakan AK negeri pertama di Indonesia. Pada tahap awal, kampus ini akan menerima 120 mahasiswa jenjang diploma 1. Program studi pilihan terdiri atas teknik informatika, multimedia, dan animasi.
Presiden menyambut baik pendirian akademi komunitas. Presiden mengatakan, akademi komunitas lebih tepat didirikan di setiap kabupaten karena akademisi komunitas mencetak lulusan terdidik, yang siap masuk dunia kerja dan wiraswasta.
AK dapat didirikan di sekitar lokasi perkebunan kelapa sawit, sehingga memudahkan akses masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan. Program AK terdiri atas satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus. Para lulusan AK nantinya diharapkan dapat langsung bekerja di sentra pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud Djoko Santoso menjelaskan model perkuliahan di AK. Menurut dia, berbeda dengan perkuliahan di universitas, di AK pengaturannya lebih fleksibel. Jika perkuliahan di universitas harus terus menerus mengikuti perkuliahan selama kurun waktu tertentu, di AK mahasiswa dapat "keluar-masuk" kampus.
Mereka dapat menempuh kuliah selama satu semester, kemudian keluar dulu untuk bekerja dan kembali lagi kuliah. Kurikulumnya pun memiliki fleksibilitas yang tinggi. Mahasiswa dituntut harus bisa bekerja sesuai dengan bidang yang akan dia tekuni.
Kemudian, siapa tenaga pengajar di AK? Selain dosen yang berlatar belakang pendidikan formal, para pengajarnya juga berasal dari kalangan profesional di bidangnya. Semua orang yang secara profesional bekerja di kebun kelapa sawit tadi bisa mengajar kepada mahasiswa. Kualifikasi pendidikan untuk dosen adalah lulusan D3 s.d. S3 atau profesional setara level 5 s.d. level 9 mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Lalu apa keuntungan bagi pihak industri yang mempekerjakan lulusan AK? Selama ini perusahaan banyak merekrut lulusan sarjana. Padahal kebutuhannya hanya untuk melakukan pengukuran di kebun kelapa sawit. Dari sisi industri, tentu akan membayar lebih mahal, sedangkan dari sisi masyarakat sekitar tidak ikut terlibat. Kalau dibuka AK program pengukuran maka tidak perlu sarjana lagi.
Pendidikannya pun cukup satu atau dua tahun saja, sehingga ada kaitan erat antara pertumbuhan industri dengan di sekitarnya. Masyarakat pun menikmati pendidikan tinggi pada level D1 dan D2. Adanya AK juga mendukung upaya pemerintah untuk merealisasikan target 60 persen tenaga kerja berasal dari masyarakat sekitarnya. (ASW/PEN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar