Awal bulan ini, Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail menyatakan bahwa bentuk kecintaan Pemerintah Kota Depok terhadap lingkungan tertuang dari aturan pembangunan kavling rumah minimal 120 m2. Aturan tersebut diharapkan mampu menjaga lingkungan hidup di Kota Depok.
Sayangnya, pekerjaan rumah Kota Depok saat ini jauh lebih banyak daripada sekedar regulasi. Hal itu seperti diungkapkan green advisor dan arsitek lanskap Nirwono Joga kepada KOMPAS.com yang berbicara soal permasalahanKota Depok dan solusi idealnya. Menurut Joga, Depok punya dua persoalan utama harus diselesaikan. Persoalan pertama ada pada rencana tata ruang, sementara persoalan kedua ada pada sarana transportasi dan infrastruktur kota tersebut.
"Pertama, rencana tata ruang wilayah Depok sendiri belum berpihak pada lingkungan. Pembangunan Depok seolah-olah tidak tertata dengan baik. Timbul pembangunan berskala kecil yang mengincar daerah resapan air," ujarnya.
Joga menjabarkan, topografi Kota Depok tidak datar. Ada daerah-daerah cekungan yang seharusnya menjadi wilayah resapan air, selain situ atau waduk. Wilayah-wilayah cekungan ini seharusnya digunakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Sayangnya, daerah cekungan dijadikan perumahan. Sungai diuruk, juga jadi perumahan.
"Kalau dibiarkan berlarut-larut, Depok akan banjir," tegasnya.
Melihat ini, lanjut Joga, hal paling parah di Kota Depok adalah perkembangan transportasi publiknya. Daerah seluruh kawasan Depok saat ini macet.
"Selain itu, pengembangan jalannya tidak didukung oleh saluran drainase yang baik. Tanpa penyediaan saluran drainase memadai, Depok akan mengalami banyak daerah genangan air di musim hujan," terangnya.
Lantas, Joga juga menyediakan usulan dan himbauan bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Depok. Pertama, Pemerintah Kota Depok harus segera membangun atau mempersiapkan pembangunan saluran drainase mikro, mezzo, dan makro.
Mikro berarti saluran di depan halaman rumah. Sementara mezzo adalah saluran lingkungan, dan makro di tingkat kota yang arahnya sampai sungai atau laut.
"Tapi konsepnya eco-drainase. Beda dengan sekarang. Kalau sekarang, konsepnya air harus secapat-cepatnya dibuang ke laut. Eco-drainase itu dibalik. Air ditampung sebanyak-banyaknya, untuk diresapkan semaksimal mungkin."
"Kemudian, dalam RTRW harus diplot target 30 persen RTH ke arah mana. Tidak semua lahan boleh dibangun oleh pengembang. Tanah yang tidak boleh dibangun, ditetapkan sebagai daerah konservasi," saran Joga.
Menurut dia, Pemerintah Kota Depok harus segera melakukan audit lingkungan, khususnya para pengembang yang membangun properti di Depok.
"Mereka sebenarnya punya kewajiban menyediakan RTH 30 persen. Bagaimana dengan pengembang kecil yang tidak melakukannya? Sudah ada sanksinya belum?" kata Joga.
"Yang kedua, tolong dicek kembali, terutama, kalau ada pengembang yang membangun proyeknya di atas lahan yang membangun permukiman. Apalagi yang menguruk situ, bantaran kali. Harus ditindak pengembangnya," tegas Joga.
Sayangnya, pekerjaan rumah Kota Depok saat ini jauh lebih banyak daripada sekedar regulasi. Hal itu seperti diungkapkan green advisor dan arsitek lanskap Nirwono Joga kepada KOMPAS.com yang berbicara soal permasalahanKota Depok dan solusi idealnya. Menurut Joga, Depok punya dua persoalan utama harus diselesaikan. Persoalan pertama ada pada rencana tata ruang, sementara persoalan kedua ada pada sarana transportasi dan infrastruktur kota tersebut.
"Pertama, rencana tata ruang wilayah Depok sendiri belum berpihak pada lingkungan. Pembangunan Depok seolah-olah tidak tertata dengan baik. Timbul pembangunan berskala kecil yang mengincar daerah resapan air," ujarnya.
Joga menjabarkan, topografi Kota Depok tidak datar. Ada daerah-daerah cekungan yang seharusnya menjadi wilayah resapan air, selain situ atau waduk. Wilayah-wilayah cekungan ini seharusnya digunakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Sayangnya, daerah cekungan dijadikan perumahan. Sungai diuruk, juga jadi perumahan.
"Kalau dibiarkan berlarut-larut, Depok akan banjir," tegasnya.
Melihat ini, lanjut Joga, hal paling parah di Kota Depok adalah perkembangan transportasi publiknya. Daerah seluruh kawasan Depok saat ini macet.
"Selain itu, pengembangan jalannya tidak didukung oleh saluran drainase yang baik. Tanpa penyediaan saluran drainase memadai, Depok akan mengalami banyak daerah genangan air di musim hujan," terangnya.
Lantas, Joga juga menyediakan usulan dan himbauan bagi pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Depok. Pertama, Pemerintah Kota Depok harus segera membangun atau mempersiapkan pembangunan saluran drainase mikro, mezzo, dan makro.
Mikro berarti saluran di depan halaman rumah. Sementara mezzo adalah saluran lingkungan, dan makro di tingkat kota yang arahnya sampai sungai atau laut.
"Tapi konsepnya eco-drainase. Beda dengan sekarang. Kalau sekarang, konsepnya air harus secapat-cepatnya dibuang ke laut. Eco-drainase itu dibalik. Air ditampung sebanyak-banyaknya, untuk diresapkan semaksimal mungkin."
"Kemudian, dalam RTRW harus diplot target 30 persen RTH ke arah mana. Tidak semua lahan boleh dibangun oleh pengembang. Tanah yang tidak boleh dibangun, ditetapkan sebagai daerah konservasi," saran Joga.
Menurut dia, Pemerintah Kota Depok harus segera melakukan audit lingkungan, khususnya para pengembang yang membangun properti di Depok.
"Mereka sebenarnya punya kewajiban menyediakan RTH 30 persen. Bagaimana dengan pengembang kecil yang tidak melakukannya? Sudah ada sanksinya belum?" kata Joga.
"Yang kedua, tolong dicek kembali, terutama, kalau ada pengembang yang membangun proyeknya di atas lahan yang membangun permukiman. Apalagi yang menguruk situ, bantaran kali. Harus ditindak pengembangnya," tegas Joga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar