Pengembang yang menggarap wilayah Kota Depok tak sepakat dengan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, meskipun sudah disahkan DPRD Kota Depok. Regulasi ini mengatur operasional pengembang untuk hanya membangun, menjual, dan memasarkan perumahan dengan luas tanah minimal 120 meter persegi.
CEO dan Presiden Direktur Relife Property Group, Ghofar Rozaq Nazila, mengungkapkan ketidaksetujuannya karena disparitas antara kebutuhan dan pasok rumah masih tinggi.
"Sebenarnya ada upaya lain yang bisa ditempuh, bila tujuan pembatasan ukuran lahan adalah untuk memperbesar Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pemkot Depok harus memastikan semua pengembang untuk memenuhi kewajibannya membangun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos). Tugas Pemkot adalah mengelola aset fasum dan fasos tersebut," urai Ghofar kepada Kompas.com, Jumat (1/11/2013).
Untuk diketahui, Pemerintah Kota Depok membuat aturan pembangunan rumah tapak dengan luas lahan minimal 120 meter persegi dilatari oleh motif memperluas RTH dan penyelamatan lingkungan.
Ghofar menambahkan, selama ini yang terjadi adalah fasum dan fasos yang sudah menjadi aset Pemkot justru kurang terawat, dan dibiarkan kosong.
"Jika memang basis aturan tersebut adalah untuk menambah RTH, berapa pun luas lahan yang dibangun pengembang, berpotensi akan dikembangkan juga. Pemkot seharusnya terlibat dalam mendesain rancangan induk yang dapat membawa keuntungan strategis terhadap kawasan dan kualitas hidup warganya. Seharusnya, regulasi seperti ini yang diberlakukan," ujarnya.
Jadi, pembatasan luas lahan minimal 120 meter persegi, menurut Ghofar, merupakan kebijakan yang belum tepat sasaran dan kurang sensitif terhadap kebutuhan riil masyarakat.
Sementara Ketua DPD APERSI DKI Jakarta, Ari Tri Priyono, sebagai representasi pengembang kelas bawah di area Jadebotabek, menyatakan ketidaksetujuannya dengan Perda tersebut. Menurut dia, Perda tersebut tidak menarik dan tidak populis, karena dapat merugikan pengembang dan juga calon konsumen berpenghasilan rendah.
Ari memaparkan, potensi kerugian bagi pengembang akibat Perda itu adalah anjloknya penjualan rumah sebesar 20 sampai 30 persen. Sementara bagi konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), jelas tidak dapat mengakses rumah karena harganya tinggi.
"Kami perkirakan kerugian yang diderita pengembang ada dua hal. Pertama akan berakibat pada anjloknya penjualan sebesar 20 sampai 30 persen. Konsumen pasti berpikir ulang untuk membeli hunian kelas bawah dengan harga kelas menengah. Kerugian kedua adalah pada investasi yang telah ditanam (dibayarkan). Pengembang harus merevisi ulang semuanya terkait dengan aturan tersebut, terutama site plan," jelas Ari.
Dengan aturan seperti itu, lanjut Ari, untuk tanahnya saja bisa menjadi Rp 120 juta. Pihaknya harus berpikir keras menjual rumah dengan harga yang pas. Paling tidak mereka harus menjual dengan ongkos konstruksi di atas Rp 4 juta per meter persegi. Ini artinya harga dasar hunian dengan luas bangunan 36 meter persegi menjadi Rp 264 juta. Belum termasuk PPN, dan biaya lainnya. Paling banter keluar angka Rp 400 juta-Rp 500 juta.
Pemkot Depok sendiri beralasan bahwa Perda tersebut dibuat untuk menciptakan tata ruang kota yang lebih baik demi membangun Depok lebih hijau dengan kondisi lingkungan (ruang terbuka hijau) yang terselamatkan.
"Motivasi kami adalah supaya Depok memiliki ruang terbuka hijau yang memadai. Lebih dari itu, kami ingin menyelamatkan lingkungan," ujar Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail.
Faktanya, lanjut Nur Mahmudi, kalau rumah dengan lahan kecil, berpotensi untuk menjadi rumah tumbuh. Pada saat sudah tumbuh, akan dipaksakan menjadi tempat berniaga. Ini sebetulnya isyarat untuk meyakinkan bahwa Depok akan punya cukup RTH jika kebijakan rumah tapak dengan luas lahan 120 meter persegi dijalankan.
"Sekarang, kebutuhan mengarah kepada rumah vertikal, demi memperbesar RTH. Masyarakat jangan khawatir karena kami akan memfasilitasi MBR dengan membangun rusunami di lokasi-lokasi pinggiran kota," imbuhnya.
Akan tetapi, Ghofar menyangsikan pembangunan rusunami pun akan tepat sasaran. Meski rusunami merupakan bagian dari pertumbuhan perkotaan, namun fakta di lapangan malah menjadi instrumen investasi kalangan berpunya.
"Masalah klasik dulu yang harus dibereskan seperti infrastruktur jalan, drainase, transportasi publik dan lain-lain," tandasnya.
CEO dan Presiden Direktur Relife Property Group, Ghofar Rozaq Nazila, mengungkapkan ketidaksetujuannya karena disparitas antara kebutuhan dan pasok rumah masih tinggi.
"Sebenarnya ada upaya lain yang bisa ditempuh, bila tujuan pembatasan ukuran lahan adalah untuk memperbesar Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pemkot Depok harus memastikan semua pengembang untuk memenuhi kewajibannya membangun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos). Tugas Pemkot adalah mengelola aset fasum dan fasos tersebut," urai Ghofar kepada Kompas.com, Jumat (1/11/2013).
Untuk diketahui, Pemerintah Kota Depok membuat aturan pembangunan rumah tapak dengan luas lahan minimal 120 meter persegi dilatari oleh motif memperluas RTH dan penyelamatan lingkungan.
Ghofar menambahkan, selama ini yang terjadi adalah fasum dan fasos yang sudah menjadi aset Pemkot justru kurang terawat, dan dibiarkan kosong.
"Jika memang basis aturan tersebut adalah untuk menambah RTH, berapa pun luas lahan yang dibangun pengembang, berpotensi akan dikembangkan juga. Pemkot seharusnya terlibat dalam mendesain rancangan induk yang dapat membawa keuntungan strategis terhadap kawasan dan kualitas hidup warganya. Seharusnya, regulasi seperti ini yang diberlakukan," ujarnya.
Jadi, pembatasan luas lahan minimal 120 meter persegi, menurut Ghofar, merupakan kebijakan yang belum tepat sasaran dan kurang sensitif terhadap kebutuhan riil masyarakat.
Sementara Ketua DPD APERSI DKI Jakarta, Ari Tri Priyono, sebagai representasi pengembang kelas bawah di area Jadebotabek, menyatakan ketidaksetujuannya dengan Perda tersebut. Menurut dia, Perda tersebut tidak menarik dan tidak populis, karena dapat merugikan pengembang dan juga calon konsumen berpenghasilan rendah.
Ari memaparkan, potensi kerugian bagi pengembang akibat Perda itu adalah anjloknya penjualan rumah sebesar 20 sampai 30 persen. Sementara bagi konsumen, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), jelas tidak dapat mengakses rumah karena harganya tinggi.
"Kami perkirakan kerugian yang diderita pengembang ada dua hal. Pertama akan berakibat pada anjloknya penjualan sebesar 20 sampai 30 persen. Konsumen pasti berpikir ulang untuk membeli hunian kelas bawah dengan harga kelas menengah. Kerugian kedua adalah pada investasi yang telah ditanam (dibayarkan). Pengembang harus merevisi ulang semuanya terkait dengan aturan tersebut, terutama site plan," jelas Ari.
Dengan aturan seperti itu, lanjut Ari, untuk tanahnya saja bisa menjadi Rp 120 juta. Pihaknya harus berpikir keras menjual rumah dengan harga yang pas. Paling tidak mereka harus menjual dengan ongkos konstruksi di atas Rp 4 juta per meter persegi. Ini artinya harga dasar hunian dengan luas bangunan 36 meter persegi menjadi Rp 264 juta. Belum termasuk PPN, dan biaya lainnya. Paling banter keluar angka Rp 400 juta-Rp 500 juta.
Pemkot Depok sendiri beralasan bahwa Perda tersebut dibuat untuk menciptakan tata ruang kota yang lebih baik demi membangun Depok lebih hijau dengan kondisi lingkungan (ruang terbuka hijau) yang terselamatkan.
"Motivasi kami adalah supaya Depok memiliki ruang terbuka hijau yang memadai. Lebih dari itu, kami ingin menyelamatkan lingkungan," ujar Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail.
Faktanya, lanjut Nur Mahmudi, kalau rumah dengan lahan kecil, berpotensi untuk menjadi rumah tumbuh. Pada saat sudah tumbuh, akan dipaksakan menjadi tempat berniaga. Ini sebetulnya isyarat untuk meyakinkan bahwa Depok akan punya cukup RTH jika kebijakan rumah tapak dengan luas lahan 120 meter persegi dijalankan.
"Sekarang, kebutuhan mengarah kepada rumah vertikal, demi memperbesar RTH. Masyarakat jangan khawatir karena kami akan memfasilitasi MBR dengan membangun rusunami di lokasi-lokasi pinggiran kota," imbuhnya.
Akan tetapi, Ghofar menyangsikan pembangunan rusunami pun akan tepat sasaran. Meski rusunami merupakan bagian dari pertumbuhan perkotaan, namun fakta di lapangan malah menjadi instrumen investasi kalangan berpunya.
"Masalah klasik dulu yang harus dibereskan seperti infrastruktur jalan, drainase, transportasi publik dan lain-lain," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar