KETUT Ranti (38), ibu dua anak warga Desa Kalibukbuk, Kabupaten Buleleng, Bali, menjemput para tamu yang turun dari jukung seusai menyapa lumba-lumba di Pantai Binaria, Minggu (2/6/2013) pagi. Kedua tangannya menjinjing kotak kayu serupa nampan yang berisi kalung, gelang, dan giwang yang disebutnya sebagai suvenir. Cendera mata yang dimaksud berupa gelang dan kalung berhiaskan lumba-lumba.
"Souvenir, ma’am...! Souvenir, sir...!” teriak Ranti sambil berjalan di samping dua tamu asal Taiwan.
Ia coba merayu. Sayang, dua tamu itu tak terarik membelinya. Ranti pun segera mencari tamu lainnya.
Pergi Ranti, datanglah Ketut Sari (40), mendekati dua tamu Taiwan tadi dengan menjajakan barang serupa.
Hal serupa dilakukan perempuan-perempuan lainnya. Ini menjadi pemandangan pagi di sepanjang pantai setelah tamu menonton lumba-lumba. Selain itu, menjelang sore ketika tamu-tamu sekadar berjalan menikmati panorama pantai.
Namun, ini menjadi andalan Ranti dan Sari yang berdagang suvenir di sekitar Pantai Binaria selama sekitar 20 tahun. Perkembangan tamu yang datang dan tertarik melihat lumba-lumba di tengah laut setiap pagi menjadi motivasi kaum hawa berjualan aneka kalung, gelang, dan anting.
Jumlah pedagang suvenir pun menjamur dengan kotak yang isinya sama. Pendapatan para perempuan ini beragam setiap hari, mulai dari Rp 50.000 hingga lebih dari Rp 200.000 per hari. Bahkan, cuma tangan kosong alias apes per hari juga sering mereka alami.
Menjamurnya pedagang suvenir ini seiring menjamurnya jukung-jukung pengangkut tamu wisata lumba-lumba. Setiap pagi, jumlah jukung berangkat bisa mencapai 50 kapal. Jika musim ramai, seperti liburan sekolah atau musim liburan orang Eropa, jukung yang berbarengan menuju tengah laut bisa mencapai lebih dari 100 kapal.
Satu jukung maksimal memuat lima tamu dengan satu kapten (sebutan untuk pengendali kapal dan pendamping tamu). Pada musim ramai, sekitar 500 orang bisa beramai-ramai menyapa lumba-lumba sepanjang pukul 06.00-08.00.
Suasana masih remang-remang ketika sekitar pukul 05.00 para kapten kapal menyambut para wisatawan. Salah satunya Kadek Budiasa (31), warga Kalibukbuk yang telah sekitar 14 tahun menjadi kapten. Ini menjadi pekerjaan utamanya setiap pagi. Pada siang hari ia juga berupaya mencari tamu-tamu untuk keesokan harinya.
Ia mendapatkan komisi dari ketua organisasi (sebutan bagi para pemilik kapal) senilai Rp 40.000 per orang dari hitungan Rp 50.000 per orang karena Rp 10.000 diberikan kepada organisasi. Maksimal lima penumpang setiap pagi, Budiasa pun mengantongi Rp 200.000 per hari.
Andaikan penumpangnya berkenan diantar menuju taman laut dengan tambahan bayaran Rp 150.000 per kapal, ia mendapat tambahan pendapatan senilai Rp 80.000. Sebanyak Rp 20.000 disisihkan untuk membeli bensin 4 liter dan Rp 50.000 untuk organisasi.
"Ya, lumayan setiap harinya. Apalagi saya hanya lulusan SMP. Kapten kapal menjadi pekerjaan utama untuk menghidupi anak dan istri. Tanpa lumba-lumba, saya kerja apa?” ujar Budiasa.
Harga-harga itu sudah menjadi kesepakatan semua organisasi dan kapten. Jika ada kapten melanggar dengan menjual kurang dari Rp 50.000 per orang, sanksinya adalah skors selama satu bulan.
Bisnis langgeng
Organisasi pun bertambah, begitu pula jumlah jukung. Harga jukung belakangan ikut mahal. Satu jukung baru dihargai Rp 30 juta. Enam bulan lalu, harganya masih Rp 18 juta.
Salah seorang ketua organisasi dolphin Lovina Bakti Segara, Ketut Sudiasa (42), memiliki 36 kapal. Ia optimistis bisnis wisata lumba-lumba ini abadi.
Daya tarik lumba-lumba yang booming pada 1980-an begitu merayap ke warga kawasan Lovina dan sekitarnya. Harga tanah-tanah kawasan Lovina mulai meroket hingga Rp 30 juta per are dari kurang separuhnya lima tahun lalu.
Perjalanan dari Kota Denpasar mencapai sekitar tiga jam melalui jalanan berkelok-kelok kawasan Bedugul, Kabupaten Tabanan. Pemandangan alam pegunungan, terasering sawah, serta Danau Batur dan Tamblingan mewarnai perjalanan menuju Lovina.
Letaknya juga hanya sekitar 20 kilometer dari pusat kota Buleleng, Singaraja. Lokasinya mudah dicari.
Lagi-lagi, gara-gara lumba-lumba. Pasek Kistawan (26), lelaki asal Desa Grogak, yang lokasinya tak jauh dari Lovina, pun ingin ikut menikmati pariwisata Lovina.
Empat tahun lalu, ia menerima tawaran menjadi instruktur lumba-lumba di Hotel Melka Excelsior. Hotel ini satu-satunya penginapan dari 81 hotel berbintang dan 2 hotel melati yang memiliki lima lumba-lumba. Setiap hari pihak hotel menggelar atraksi dua lumba-lumba sekitar 15 menit mulai pukul 09.00.
Bahkan, dua lumba-lumba lainnya menemani tamu berenang dengan membayar sekitar Rp 65.000 per orang. Sementara satu ekor lainnya menemani para anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan terapi.
Kistawan membutuhkan waktu setahun untuk berlatih memahami dan belajar bahasa lumba-lumba bersama instruktur senior yang didatangkan dari Australia oleh pihak hotel. Mulai mengajak bermain, memberikan makan sedikitnya 5 kilogram ikan kembung untuk satu lumba-lumba, sampai mengobatinya. Ia menerima gaji sekitar Rp 1 juta per bulan dan sangat menikmati pekerjaannya.
Desa Kalibukbuk yang menjadi sentra wisata dari enam desa yang masuk kawasan Lovina (Desa Pemaron, Desa Tukad Mungga, Desa Anturan, Desa Kalibukbuk, Desa Kaliasem, dan Desa Temukus) ditinggali sekitar 6.000 orang. Selain pariwisata, penduduk juga bergantung pada pertanian, perikanan laut, dan pekerjaan lain, seperti buruh bangunan. Rata-rata pendidikan penduduknya mulai membaik menjadi sekolah menengah atas (SMA).
Perbekel Kalibukbuk, Made Sutama berharap pemerintah kabupaten dan provinsi membantu dalam pengelolaan pariwisata. Ia bersama warga setempat ingin bisa dibina bagaimana cara menata dan mengelola pariwisata dengan baik serta terkoordinasi.
”Kami berada di Bali bagian utara juga ingin maju seperti di Bali bagian selatan. Kami ingin seperti kawasan wisata di Sanur yang tertata dan melibatkan masyarakat lokal,” ungkapnya.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng berjanji membangun beberapa fasilitas yang menunjang pariwisata setempat. Tentu saja perlahan, masyarakat berharap adanya perhatian demi keberlangsungan hidup mereka dari pemerintah.
Berkat lumba-lumba, perekonomian masyarakat lokal tumbuh. Lovina semakin dikenal. Terima kasih, lumba-lumba....
"Souvenir, ma’am...! Souvenir, sir...!” teriak Ranti sambil berjalan di samping dua tamu asal Taiwan.
Ia coba merayu. Sayang, dua tamu itu tak terarik membelinya. Ranti pun segera mencari tamu lainnya.
Pergi Ranti, datanglah Ketut Sari (40), mendekati dua tamu Taiwan tadi dengan menjajakan barang serupa.
Hal serupa dilakukan perempuan-perempuan lainnya. Ini menjadi pemandangan pagi di sepanjang pantai setelah tamu menonton lumba-lumba. Selain itu, menjelang sore ketika tamu-tamu sekadar berjalan menikmati panorama pantai.
Namun, ini menjadi andalan Ranti dan Sari yang berdagang suvenir di sekitar Pantai Binaria selama sekitar 20 tahun. Perkembangan tamu yang datang dan tertarik melihat lumba-lumba di tengah laut setiap pagi menjadi motivasi kaum hawa berjualan aneka kalung, gelang, dan anting.
Jumlah pedagang suvenir pun menjamur dengan kotak yang isinya sama. Pendapatan para perempuan ini beragam setiap hari, mulai dari Rp 50.000 hingga lebih dari Rp 200.000 per hari. Bahkan, cuma tangan kosong alias apes per hari juga sering mereka alami.
Menjamurnya pedagang suvenir ini seiring menjamurnya jukung-jukung pengangkut tamu wisata lumba-lumba. Setiap pagi, jumlah jukung berangkat bisa mencapai 50 kapal. Jika musim ramai, seperti liburan sekolah atau musim liburan orang Eropa, jukung yang berbarengan menuju tengah laut bisa mencapai lebih dari 100 kapal.
Satu jukung maksimal memuat lima tamu dengan satu kapten (sebutan untuk pengendali kapal dan pendamping tamu). Pada musim ramai, sekitar 500 orang bisa beramai-ramai menyapa lumba-lumba sepanjang pukul 06.00-08.00.
Suasana masih remang-remang ketika sekitar pukul 05.00 para kapten kapal menyambut para wisatawan. Salah satunya Kadek Budiasa (31), warga Kalibukbuk yang telah sekitar 14 tahun menjadi kapten. Ini menjadi pekerjaan utamanya setiap pagi. Pada siang hari ia juga berupaya mencari tamu-tamu untuk keesokan harinya.
Ia mendapatkan komisi dari ketua organisasi (sebutan bagi para pemilik kapal) senilai Rp 40.000 per orang dari hitungan Rp 50.000 per orang karena Rp 10.000 diberikan kepada organisasi. Maksimal lima penumpang setiap pagi, Budiasa pun mengantongi Rp 200.000 per hari.
Andaikan penumpangnya berkenan diantar menuju taman laut dengan tambahan bayaran Rp 150.000 per kapal, ia mendapat tambahan pendapatan senilai Rp 80.000. Sebanyak Rp 20.000 disisihkan untuk membeli bensin 4 liter dan Rp 50.000 untuk organisasi.
"Ya, lumayan setiap harinya. Apalagi saya hanya lulusan SMP. Kapten kapal menjadi pekerjaan utama untuk menghidupi anak dan istri. Tanpa lumba-lumba, saya kerja apa?” ujar Budiasa.
Harga-harga itu sudah menjadi kesepakatan semua organisasi dan kapten. Jika ada kapten melanggar dengan menjual kurang dari Rp 50.000 per orang, sanksinya adalah skors selama satu bulan.
Bisnis langgeng
Organisasi pun bertambah, begitu pula jumlah jukung. Harga jukung belakangan ikut mahal. Satu jukung baru dihargai Rp 30 juta. Enam bulan lalu, harganya masih Rp 18 juta.
Salah seorang ketua organisasi dolphin Lovina Bakti Segara, Ketut Sudiasa (42), memiliki 36 kapal. Ia optimistis bisnis wisata lumba-lumba ini abadi.
Daya tarik lumba-lumba yang booming pada 1980-an begitu merayap ke warga kawasan Lovina dan sekitarnya. Harga tanah-tanah kawasan Lovina mulai meroket hingga Rp 30 juta per are dari kurang separuhnya lima tahun lalu.
Perjalanan dari Kota Denpasar mencapai sekitar tiga jam melalui jalanan berkelok-kelok kawasan Bedugul, Kabupaten Tabanan. Pemandangan alam pegunungan, terasering sawah, serta Danau Batur dan Tamblingan mewarnai perjalanan menuju Lovina.
Letaknya juga hanya sekitar 20 kilometer dari pusat kota Buleleng, Singaraja. Lokasinya mudah dicari.
Lagi-lagi, gara-gara lumba-lumba. Pasek Kistawan (26), lelaki asal Desa Grogak, yang lokasinya tak jauh dari Lovina, pun ingin ikut menikmati pariwisata Lovina.
Empat tahun lalu, ia menerima tawaran menjadi instruktur lumba-lumba di Hotel Melka Excelsior. Hotel ini satu-satunya penginapan dari 81 hotel berbintang dan 2 hotel melati yang memiliki lima lumba-lumba. Setiap hari pihak hotel menggelar atraksi dua lumba-lumba sekitar 15 menit mulai pukul 09.00.
Bahkan, dua lumba-lumba lainnya menemani tamu berenang dengan membayar sekitar Rp 65.000 per orang. Sementara satu ekor lainnya menemani para anak-anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan terapi.
Kistawan membutuhkan waktu setahun untuk berlatih memahami dan belajar bahasa lumba-lumba bersama instruktur senior yang didatangkan dari Australia oleh pihak hotel. Mulai mengajak bermain, memberikan makan sedikitnya 5 kilogram ikan kembung untuk satu lumba-lumba, sampai mengobatinya. Ia menerima gaji sekitar Rp 1 juta per bulan dan sangat menikmati pekerjaannya.
Desa Kalibukbuk yang menjadi sentra wisata dari enam desa yang masuk kawasan Lovina (Desa Pemaron, Desa Tukad Mungga, Desa Anturan, Desa Kalibukbuk, Desa Kaliasem, dan Desa Temukus) ditinggali sekitar 6.000 orang. Selain pariwisata, penduduk juga bergantung pada pertanian, perikanan laut, dan pekerjaan lain, seperti buruh bangunan. Rata-rata pendidikan penduduknya mulai membaik menjadi sekolah menengah atas (SMA).
Perbekel Kalibukbuk, Made Sutama berharap pemerintah kabupaten dan provinsi membantu dalam pengelolaan pariwisata. Ia bersama warga setempat ingin bisa dibina bagaimana cara menata dan mengelola pariwisata dengan baik serta terkoordinasi.
”Kami berada di Bali bagian utara juga ingin maju seperti di Bali bagian selatan. Kami ingin seperti kawasan wisata di Sanur yang tertata dan melibatkan masyarakat lokal,” ungkapnya.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng berjanji membangun beberapa fasilitas yang menunjang pariwisata setempat. Tentu saja perlahan, masyarakat berharap adanya perhatian demi keberlangsungan hidup mereka dari pemerintah.
Berkat lumba-lumba, perekonomian masyarakat lokal tumbuh. Lovina semakin dikenal. Terima kasih, lumba-lumba....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar