Selasa, 08 Oktober 2013

Santapan Madura, Hari Berbeda, Laku Serupa

Dari kisah di balik sepiring hidangan memang kerap mengalir cerita sukacita tentang peradaban sejumlah suku dan bangsa dalam berbagi dan saling memberi untuk kelezatan cita rasa sebagaimana terjadi di Ampel, Surabaya. Namun, dari kisah di balik beragam sajian hasil laut Selat Madura pula, kami kembali mendapati kisah buram kehidupan para nelayan.

Melimpahnya hasil laut, begitu pula kelezatan yang dipersembahkannya, tak juga membawa kemakmuran bagi para nelayannya. Dalam gubuk yang menjadi dapurnya, tangan keriput Jatimah (65) menata kayu perapian tungku tempat sewajan lorjuk (binatang karang laut bercangkang yang gurih) yang tengah direbusnya hidup-hidup. Satu demi satu lorjuk berukuran panjang 3 sentimeter itu menggeliat bak ulat demi melepaskan diri dari cangkang silindernya yang kian panas.

Sesekali Jatimah yang hanya bisa berbahasa Madura mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti kegaduhan tamu-tamu di dapurnya membicarakan betapa mahalnya lorjuk. Ia tertawa setelah tahu yang diobrolkan adalah betapa besar keuntungan nelayan lorjuk karena hargalorjuk siap santap di Surabaya kerap mencapai Rp 250.000 per kilogram.

Dengan sabar, Jatimah bercerita bagaimana pada Jumat (23/8/2013) subuh itu ia berjalan kaki 3 kilometer ke pantai demi mencari binatang yang seukuran kelingking anak-anak itu. Ia, juga puluhan perempuan lain di Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, harus berkejaran dengan siklus pasang surut, juga cuaca buruk yang bisa tiba-tiba membatalkan perburuanlorjuk.

Lorjuk hanya bisa dicari di balik batu dan pasir dasar laut yang surut. Surutnya laut hanya dua-tiga jam, banyak orang bekejaran dengan waktu untuk mendapatkan dua-tiga mangkuk lorjuk. Untuk menghasilkan 1 kilogram lorjuk kering siap masak, saya harus membeli 40 mangkuklorjuk seharga Rp 200.000. Bobot basahnya mungkin 3 kilogram, susut saat diolah,” tutur Jatimah.

KOMPAS/RADITYA HELABUMIOlahan pepes lorjuk
Terkejutlah kami mendengar berapa harga jual lorjuk kering mentah Jatimah. ”Rp 200.000,” ujarnya tersenyum meyakinkan. ”Untung pembuat lorjuk adalah mendapatkan sekitar setengah liter petis lorjuk yang bisa dijual seharga Rp 30.000,” ujar Jatimah sambil terus menampi lorjukhasil rebusan demi membuang cangkang-cangkang lorjuk-nya.

Antropolog Abdul Latif Bustami menyebutkan, kaum nelayan di sepanjang pesisir Selat Madura hidup dalam nilai moral subsisten (berburu dan meramu, cara hidup yang sepenuhnya bergantung pada hasil alam). Mereka yang menjalani nilai moral subsisten tidak mendasarkan pada hitungan untung-rugi sebagai motif tindakannya.

”Jika melongok kehidupan nelayan, kita akan mendapati jamaknya tindakan yang menyerupai tindakan ekonomi, tetapi hitung-hitungan ekonominya tidak dapat dinalar. Kaum nelayan yang subsisten bersama-sama bekerja untuk menjalani hidupnya, bersama-sama membangun jaring pengaman kehidupan komunalnya. Siapa yang memperoleh banyak tangkapan selalu ingin berbagi demi mengamankan hari lain kala peruntungannya buruk. Tiap-tiap dari mereka mengambil keuntungan seperlunya dari kelompoknya,” kata Bustami.

KOMPAS/RADITYA HELABUMINasi Jagung di warung makan Ibu Didik, Sumenep, Madura.
Lewat tengah hari, Jatimah yang selesai menampi lorjuk-nya kembali ke dapur dan mulai mengaduk sisa air rebusan lorjuk yang kian mengental. Tangan keriputnya terus mengaduk pelan, ditemani bara api yang kian meredup di tungkunya, menunggu sisa air rebusan lorjuk-nya mengental menjadi petis. Hari-hari selalu berbeda, tetapi pada tiap-tiapnya Jatimah menapaki jalan hidup dengan kebersahajaan yang sama.

Selat Madura melimpahkan kelezatan, tetapi tak kunjung melimpahkan kemakmuran bagi orang-orang kecil yang menjadi ”mata air” kelezatan santapan pesisir Selat Madura. Nasib para nelayan Selat Madura adalah potret kecil lain dari muramnya nasib nelayan di negeri yang tiga perempat luas wilayahnya adalah lautan kaya ini. (Aryo Wisanggeni Genthong dan Ingki Rinaldi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar