Minggu, 04 Agustus 2013

Lai Moi, Tekad Meningkatkan "Derajat" Cendol


Lai Moi (54) yang mengetahui suaminya begitu suka cendol mencoba membuat cendol yang lebih sehat dan higienis. Ia yakin minuman tradisional ini bisa naik ”derajat” dari minuman yang dijajakan di tepi jalan menjadi primadona di pusat perbelanjaan. Usahanya tak sia-sia. Cendol de Keraton yang dirintisnya lima tahun lalu kini dijajakan di 60 gerai di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Semarang.

Dari 60 gerai tersebut, 20 di antaranya milik Lai Moi, sedangkan 40 lainnya milik mitra yang membeli lisensi waralaba. Tenaga kerja yang direkrutnya pun tak sedikit. Di rumah produksi cendol dan 20 gerai cendol miliknya, Lai Moi mempekerjakan 40 orang. Sementara setiap gerai mitra rata-rata dijaga 1-2 pegawai.
Model kemitraan yang dikembangkan Lai Moi tak sulit. Mitra berinvestasi Rp 6 juta, lalu mereka mendapat berbagai peralatan untuk berjualan serta bonus gratis 50 sajian pertama.
Selain itu, mereka juga membeli cendol dari Lai Moi dengan harga lebih rendah daripada harga pasar, yakni Rp 4.500 per gelas. Sementara di pasaran, Cendol de Keraton dijual dengan kisaran Rp 9.000-Rp 14.000 per gelas, tergantung dari pilihan rasa. Ia menawarkan cendol orisinal, nangka, durian, float, dan yang terbaru jahe.
”Rata-rata penjualan sehari sekitar 1.000 gelas untuk wilayah Jabodetabek dan Bandung. Kalau akhir pekan, biasanya penjualan sedikit meningkat,” kata Lai Moi, Juli lalu, di rumah produksi Cendol de Keraton.
Rumah produksi itu berada di kawasan perumahan elite di Bogor Timur, Kota Bogor. Biaya sewa rumah pun didapatkan dari keuntungan penjualan cendol. Tiap hari para pekerja dua kali memproduksi cendol, pagi sekitar pukul 06.00 dan selepas tengah hari. Hal ini dia lakukan agar kesegaran cendol tetap terjaga.
Lai Moi cukup teliti memperhatikan proses produksi, mulai dari pembuatan cendol, pemerasan santan, hingga pengemasan cendol dan santan dalam kemasan ukuran per gelas. Pekerja yang bersentuhan langsung dengan minuman itu diwajibkannya menggunakan masker untuk menjaga higienitas cendol.

Memulai dari nol
Sebelum merintis usaha ini lima tahun silam, Lai Moi jauh dari dunia usaha makanan. Ia puluhan tahun bekerja di industri garmen. Awalnya, dia bekerja di salah satu perusahaan garmen milik investor Taiwan di Bogor.
Namun, pada 1996, ia dan suaminya yang juga bekerja di perusahaan yang sama memutuskan membangun usaha garmen bersama rekanan asal Taiwan. Namun, empat tahun kemudian, dia memutuskan hengkang dari perusahaan itu karena perselisihan usaha.
Setelah itu, suami Lai Moi, Agus Wiyono (52), berusaha menjual kristal. Mereka membuka gerai di Sukasari, Bogor Timur. Namun, penghasilan dari berjualan kristal tak menentu karena peminatnya terbatas pada mereka yang gemar dan tahu mengenai kristal.
Selama lima tahun mereka bertahan di bidang usaha tersebut. Suatu ketika, sang suami mengajak Lai Moi menyantap cendol. Ia menjadi terpikir untuk memulai usaha cendol. Kebetulan dia mendapat resep membuat cendol dari seorang kenalan.
”Suami saya mendukung karena sense bisnisnya juga bilang bidang ini bakal bagus. Ini bisa jadi uang,” ujarnya.
Namun, usaha itu tak berlangsung mudah. Lai Moi berkali-kali gagal. Ia belum pernah membuat cendol sebelumnya dan hanya berpedoman pada resep. Ia tak mau menggunakan pewarna buatan.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan warna hijau cendol, dia menggunakan daun sari suji. Awalnya daun suji untuk cendol dia dapat dari tanaman pagar tetangga. Namun, setelah kebutuhan daun suji cukup banyak, dia menyewa lahan seluas 1.000 meter persegi di Ciherang, Kabupaten Bogor, untuk ditanami suji.
Lai Moi juga mendatangi beberapa pakar di Institut Pertanian Bogor untuk menanyakan mengenai kandungan kolesterol dalam santan. Namun, ia mendapati bahwa santan tak mengandung kolesterol jahat jika santan itu tak melalui pemanasan.
Oleh karena itulah, dia sama sekali tidak memasak santan untuk cendolnya. Guna menjaga kebersihan santan, kelapa dicuci bersih menggunakan air matang, baru diperas.

Pusat perbelanjaan
Awalnya, Lai Moi mempekerjakan seorang karyawan untuk berjualan cendol. Ia mulai memasarkannya di gerai penjualan kristal milik suaminya. Hasilnya jauh dari memadai. Setiap hari hanya sekitar 20 gelas cendol yang terjual. Sisanya dikonsumsi keluarga ataupun dibagikan kepada tetangga.
”Karena hasilnya kurang bagus, pegawai saya minta berhenti. Dia bilang, kasihan kalau usahanya enggak jalan, tetapi saya tetap harus membayar gaji bulanannya,” ujar Lai Moi.
Ia tak menyerah. Beberapa bulan kemudian kondisi membaik. Cendol de Keraton yang ditawarkannya mulai mendapat pelanggan. Ia juga mulai menawarkan cendol di pusat perbelanjaan di Kota Bogor. Memasuki tahun ketiga, ia mulai menawarkan model kerja sama waralaba.
Bagi Lai Moi, tak ada pengalaman yang kurang menyenangkan. Dia mengaku sudah terbiasa tidak mudah menyerah dan bekerja keras karena hal itu sudah dilakukannya saat bekerja di industri garmen.
Ketika itu, bisa berhari-hari ia tak meninggalkan pabrik karena mengejar pesanan ekspor. Ia justru mengaku gembira saat melihat anak-anak kerap antre untuk membeli cendol di beberapa gerai miliknya.
”Artinya, anak-anak masih suka minuman tradisional yang sehat. Kan banyak anak yang suka minuman instan berbahan kimia. Saya senang bisa memberikan pilihan yang sehat untuk mereka,” tuturnya.
Ia lalu cepat-cepat menambahkan, ”Saya juga senang bisa menyebarluaskan minuman tradisional Indonesia ini.”

Ekspansi internasional
Menurut Lai Moi, kunci kesuksesan usahanya tak terlepas dari kegigihan, inovasi, dan pengendalian mutu. Soal inovasi, misalnya, ia berusaha menghasilkan pilihan rasa baru.
Ia juga memonitor mitra usaha agar tak menjual produk yang sudah tidak segar lagi. Ia pun tak segan memutuskan kontrak mitra yang coba mencampur Cendol de Keraton dengan cendol yang berharga lebih murah demi keuntungan lebih.
Dalam waktu dekat, Lai Moi hendak membuka gerai Cendol de Keraton di luar negeri. Ia mengatakan sudah mendapat mitra yang tertarik memasarkan cendol produksinya. Sayang Lai Moi belum mau menceritakan lebih jauh di negara mana ia akan mulai berekspansi.
”Masih di negara Asia, rencananya ada beberapa gerai,” tutur Lai Moi.
Setidaknya, usaha Lai Moi menaikkan ”derajat” cendol membuahkan hasil. Tak hanya di pusat perbelanjaan, cendol pun sangat mungkin bisa menjadi primadona di negara tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar