Elite politik di Indonesia sekarang, terutama para pemimpin di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dituntut memberi teladan semangat kepahlawanan. Kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan. Jika perlu, dengan mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga, ataupun partai.
”Mulai dengan pengorbanan di pihak mereka dan menyadarinya sebagai bagian untuk membentuk kehidupan bersama yang lebih baik. Mulai dari yang sederhana, seperti tolak pensiun untuk anggota DPR, stop perlombaan mobil mewah di kalangan pejabat, kurangi anggaran yang tidak perlu atau pemborosan. Kalau sukses, baru maju ke soal-soal yang lebih rumit,” kata sejarawan Hilmar Farid di Jakarta, Sabtu (9/11).
Indonesia kembali memperingati Hari Pahlawan, 10 November. Selain negara memberi gelar pahlawan nasional kepada beberapa tokoh, banyak kelompok masyarakat menggelar peringatan, seperti diskusi atau upacara. Upaya itu dilakukan untuk kembali merenungkan makna kepahlawanan dan menerapkan semangat pengorbanan untuk bangsa dalam situasi sekarang.
Menurut Hilmar, kepahlawanan menuntut pengorbanan diri. Dalam proses mendirikan dan mempertahankan negara, hal itu tampak. Pada zaman sekarang, semangat kepahlawanan bisa diwujudkan dalam bentuk kerelaan berkorban untuk kepentingan bersama.
Namun, kepahlawanan pemimpin perjuangan kemerdekaan tidak mungkin dibandingkan dengan para pembesar hari ini. Para pejuang mengorbankan banyak hal untuk negara, sementara elite politik saat ini justru merusak apa yang susah payah diperjuangkan untuk kepentingan sendiri. Negara menjadi sumber akumulasi kekayaan yang paling utama bagi para pemimpin dan elite politik. Karena itulah, korupsi dan nepotisme marak.
Pahlawan rakyat
Secara terpisah, Sinta Nuriyah Wahid, istri almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid, mengungkapkan, ada orang-orang yang melakukan tindakan kepahlawanan dalam skala masing-masing, tetapi tidak tersiarkan kepada publik. Ada seorang tukang becak yang menyisihkan sedikit uang untuk membeli bibit pohon dan menanamnya di Banjarmasin (Kalimantan Selatan) atau perempuan pengusaha kecil yang mempertahankan usaha kerajinan agar tetap bisa mempekerjakan orang-orang cacat di Surabaya (Jawa Timur).
”Kita jangan terpaku pada konsep besar tentang kepahlawanan, melainkan kembali pada sisi-sisi kemanusiaan dengan mengorbankan diri demi kepentingan masyarakat, tanpa pamrih. Setiap orang sebenarnya bisa menumbuhkan sikap kepahlawanan. Para pemimpin semestinya memberikan contoh bersikap seperti itu,” katanya.
Bagi peneliti sejarah JJ Rizal, para pahlawan masa lalu rela berkorban karena memiliki komitmen moral untuk memperjuangkan kemerdekaan. Mereka mengembangkan nilai dan hasrat membangun negara dengan dasar kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Demi meraih kemaslahatan bersama, mereka mau melewati kepentingan nafsu-nafsu, berani menunda datangnya imbalan dari jerih payah, menempuh jalan panjang penuh kesulitan, hidup dari penjara ke penjara, pembuangan, bahkan kematian.
Ketika diperkenalkan Soekarno pada 10 November 1949, gelar pahlawan merupakan sumber nilai keteladanan. Gelar itu bukan semata untuk elite, melainkan juga rakyat biasa, seperti ditegaskan Soekarno melalui Patung Pahlawan yang sohor kemudian disebut Patung Pak Tani. Namun, setelah tahun 1965, pemilihan pahlawan oleh negara lebih merupakan urusan politik ketimbang sejarah. Para pendiri bangsa dikedepankan sebagai tokoh keramat dan dikekang untuk diuji pemikirannya.
”Terjadilah irasionalitas pahlawan sekaligus juga jadi pahlawan sebagai komoditas. Tiap tahun ratusan nama diusulkan, tetapi sering nama yang mendapat gelar pahlawan bikin kaget dan sakit hati. Pahlawan jadi terasa klise dan hambar, tinggal terasa urusan kedinasan belaka, seseorang yang diberi surat dengan nomor dan dimakamkan di taman khusus yang justru terpisah dari rakyat yang menjadi sentral perjuangannya,” katanya.
Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute Benny Susetyo mengungkapkan, gelar kepahlawanan kini sekadar politik
pencitraan. Rakyat sesungguhnya merindukan pribadi pahlawan yang tidak sekadar berupa mitos, tetapi lebih memberikan dampak yang menggerakkan rakyat dalam berjuang sepenuh hati demi negara.
Benny mengatakan, nilai kepahlawanan perlu diaktualisasikan di tengah bangsa yang kini kehilangan orientasi. Semua kehidupan berbangsa saat ini telah direduksi kepentingan material belaka, maka bangsa kehilangan arah dan tujuan hidup, terlebih perilaku politisi kini semakin tidak mampu memberi harapan ke depan.
Sarwo Edhie
Kemarin malam, Pemerintah Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengatasnamakan masyarakat, akan mengusulkan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan nasional kepada pemerintah. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Pramono Edhie Wibowo, putra ke-5 Sarwo Edhie, mengatakan, usulan sudah dimasukkan ke pemerintah pusat. Usulan tersebut akan ditetapkan tahun 2014. ”Yang jelas, usulan itu bukan berasal dari lingkungan keluarga Sarwo Edhie. Itu murni dari desakan masyarakat,” ujar Edhie.
Buce Serpara (78), veteran Operasi Mandala, Trikora, yang bergerilya di Waigeo-Sorong tahun 1960-an, meminta persoalan korupsi disikapi serius. Dia menegaskan, perilaku egois dan korupsi yang makin merajalela membuat rasa ketidakadilan menguat. ”Di daerah akhirnya meniru yang terjadi di pusat,” ujarnya. (IAM/OSA/ONG)
”Mulai dengan pengorbanan di pihak mereka dan menyadarinya sebagai bagian untuk membentuk kehidupan bersama yang lebih baik. Mulai dari yang sederhana, seperti tolak pensiun untuk anggota DPR, stop perlombaan mobil mewah di kalangan pejabat, kurangi anggaran yang tidak perlu atau pemborosan. Kalau sukses, baru maju ke soal-soal yang lebih rumit,” kata sejarawan Hilmar Farid di Jakarta, Sabtu (9/11).
Indonesia kembali memperingati Hari Pahlawan, 10 November. Selain negara memberi gelar pahlawan nasional kepada beberapa tokoh, banyak kelompok masyarakat menggelar peringatan, seperti diskusi atau upacara. Upaya itu dilakukan untuk kembali merenungkan makna kepahlawanan dan menerapkan semangat pengorbanan untuk bangsa dalam situasi sekarang.
Menurut Hilmar, kepahlawanan menuntut pengorbanan diri. Dalam proses mendirikan dan mempertahankan negara, hal itu tampak. Pada zaman sekarang, semangat kepahlawanan bisa diwujudkan dalam bentuk kerelaan berkorban untuk kepentingan bersama.
Namun, kepahlawanan pemimpin perjuangan kemerdekaan tidak mungkin dibandingkan dengan para pembesar hari ini. Para pejuang mengorbankan banyak hal untuk negara, sementara elite politik saat ini justru merusak apa yang susah payah diperjuangkan untuk kepentingan sendiri. Negara menjadi sumber akumulasi kekayaan yang paling utama bagi para pemimpin dan elite politik. Karena itulah, korupsi dan nepotisme marak.
Pahlawan rakyat
Secara terpisah, Sinta Nuriyah Wahid, istri almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid, mengungkapkan, ada orang-orang yang melakukan tindakan kepahlawanan dalam skala masing-masing, tetapi tidak tersiarkan kepada publik. Ada seorang tukang becak yang menyisihkan sedikit uang untuk membeli bibit pohon dan menanamnya di Banjarmasin (Kalimantan Selatan) atau perempuan pengusaha kecil yang mempertahankan usaha kerajinan agar tetap bisa mempekerjakan orang-orang cacat di Surabaya (Jawa Timur).
”Kita jangan terpaku pada konsep besar tentang kepahlawanan, melainkan kembali pada sisi-sisi kemanusiaan dengan mengorbankan diri demi kepentingan masyarakat, tanpa pamrih. Setiap orang sebenarnya bisa menumbuhkan sikap kepahlawanan. Para pemimpin semestinya memberikan contoh bersikap seperti itu,” katanya.
Bagi peneliti sejarah JJ Rizal, para pahlawan masa lalu rela berkorban karena memiliki komitmen moral untuk memperjuangkan kemerdekaan. Mereka mengembangkan nilai dan hasrat membangun negara dengan dasar kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Demi meraih kemaslahatan bersama, mereka mau melewati kepentingan nafsu-nafsu, berani menunda datangnya imbalan dari jerih payah, menempuh jalan panjang penuh kesulitan, hidup dari penjara ke penjara, pembuangan, bahkan kematian.
Ketika diperkenalkan Soekarno pada 10 November 1949, gelar pahlawan merupakan sumber nilai keteladanan. Gelar itu bukan semata untuk elite, melainkan juga rakyat biasa, seperti ditegaskan Soekarno melalui Patung Pahlawan yang sohor kemudian disebut Patung Pak Tani. Namun, setelah tahun 1965, pemilihan pahlawan oleh negara lebih merupakan urusan politik ketimbang sejarah. Para pendiri bangsa dikedepankan sebagai tokoh keramat dan dikekang untuk diuji pemikirannya.
”Terjadilah irasionalitas pahlawan sekaligus juga jadi pahlawan sebagai komoditas. Tiap tahun ratusan nama diusulkan, tetapi sering nama yang mendapat gelar pahlawan bikin kaget dan sakit hati. Pahlawan jadi terasa klise dan hambar, tinggal terasa urusan kedinasan belaka, seseorang yang diberi surat dengan nomor dan dimakamkan di taman khusus yang justru terpisah dari rakyat yang menjadi sentral perjuangannya,” katanya.
Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute Benny Susetyo mengungkapkan, gelar kepahlawanan kini sekadar politik
pencitraan. Rakyat sesungguhnya merindukan pribadi pahlawan yang tidak sekadar berupa mitos, tetapi lebih memberikan dampak yang menggerakkan rakyat dalam berjuang sepenuh hati demi negara.
Benny mengatakan, nilai kepahlawanan perlu diaktualisasikan di tengah bangsa yang kini kehilangan orientasi. Semua kehidupan berbangsa saat ini telah direduksi kepentingan material belaka, maka bangsa kehilangan arah dan tujuan hidup, terlebih perilaku politisi kini semakin tidak mampu memberi harapan ke depan.
Sarwo Edhie
Kemarin malam, Pemerintah Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengatasnamakan masyarakat, akan mengusulkan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan nasional kepada pemerintah. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Pramono Edhie Wibowo, putra ke-5 Sarwo Edhie, mengatakan, usulan sudah dimasukkan ke pemerintah pusat. Usulan tersebut akan ditetapkan tahun 2014. ”Yang jelas, usulan itu bukan berasal dari lingkungan keluarga Sarwo Edhie. Itu murni dari desakan masyarakat,” ujar Edhie.
Buce Serpara (78), veteran Operasi Mandala, Trikora, yang bergerilya di Waigeo-Sorong tahun 1960-an, meminta persoalan korupsi disikapi serius. Dia menegaskan, perilaku egois dan korupsi yang makin merajalela membuat rasa ketidakadilan menguat. ”Di daerah akhirnya meniru yang terjadi di pusat,” ujarnya. (IAM/OSA/ONG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar