Desa Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, tak hanya memberikan pengalaman luar biasa tentang tradisi pemakaman yang unik. Desa purba di kaldera Gunung Batur ini ternyata mengesankan pula, karena memiliki lanskap menawan, sarat jejak arkeologi, dan jalur darat yang menantang keberanian, bahkan keterampilan berkendara.
Waktu menunjukkan lepas tengah hari ketika kami sampai di tepi Danau Batur di Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani. Usai bersantap di rumah makan terapung yang menawarkan menu olahan aneka ikan air tawar, kami pun bersiap melanjutkan perjalanan ke Desa Terunyan di seberang Danau Batur.
Tidak seperti umumnya wisatawan yang memilih menyeberang danau dengan menyewa perahu, kami mengambil jalur darat dengan menyusuri lembah di sisi timur. Jalan berlapis aspal tipis, dengan lebar sekitar lima meter. Medannya terjal, melewati tanjakan atau turunan tajam yang menukik, diapit kokohnya pegunungan dan cantiknya Danau Batur dengan airnya yang begitu tenang. Sekitar satu jam, sampailah kami di sebuah permukiman padat, tetapi tenang, persis di tepi Danau Batur. Itulah Desa Terunyan yang memikat turis asing maupun domestik sejak tahun 1970-an.
Pertanian merupakan tulang punggung perekonomian penduduk di desa seluas 19,3 kilometer (km) persegi ini. Lazimnya petani di daerah berhawa dingin, rata-rata sekitar 17 derajat celsius, mereka menanam sayuran, seperti kubis, kentang, wortel, dan buah seperti jeruk. ”Masih sedikit warga yang bekerja di sektor pariwisata, seperti menyewakan perahu atau menjadi pemandu wisata,” ungkap Sekretaris Desa Terunyan, I Ketut Jasa.
Berbeda dengan umat Hindu umumnya, mereka tidak menyembah Dewa Wisnu, Siwa, dan Bhrahma. Ada satu pura yang sangat dihormati di desa berpenduduk 3.000 jiwa ini, yakni Pura Pancering Jagat. Di dalamnya terdapat patung Ratu Sakti Pancering Jagat.
Sejumlah arkeolog memperkirakan, Terunyan sudah ada sejak abad X Masehi. Dari Prasasti Trunyan AI, misalnya, diketahui tulisan tahun 833 Saka yang menerangkan izin pembangunan satu kuil untuk Batara Da Tonta, yang tidak lain adalah Ratu Sakti Pancering Jagat. Di Pura Terunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat berupa batu raksasa setinggi sekitar empat meter. Batu itu diperkirakan hasil seni patung gaya megalitik.
Tiga makam
Orang Terunyan biasa disebut sebagai orang Bali Aga, Bali Mula, atau Bali Turunan. Bali Aga berarti orang Bali Pegunungan, Bali Mula berarti Bali Asli. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnya, yang menyebut diri Bali Hindu, yang adalah penduduk mayoritas di Bali. Bali Hindu adalah entitas yang terkena pengaruh kebudayaan Jawa Majapahit.
Desa Trunyan dari tengah Danau Batur, Kintamani, Bangli.
Daya tarik lainnya, adalah budaya penduduk Terunyan yang tak membakar mayat dalam upacara ngaben, seperti lazimnya masyarakat Bali. Sebaliknya, mereka meletakkan jenazah di atas tanah dan hanya dipagari anyaman bambu.
Ada tiga makam, yakni sema wayah untuk mereka yang menikah dan mati wajar; sema bantas untuk yang mati tidak wajar, seperti kecelakaan; serta sema nguda untuk meletakkan jenazah bayi dan bujangan yang mati wajar. Sema wayah berada di bawah pohon menyan. Sementara sema bantas letaknya di tepi danau di daerah perbatasan masuk ke desa. Sema nguda letaknya di bukit atau tebing.
Dari tiga makam, sema wayah atau pemakaman di bawah pohon menyan yang menjadi daya tarik wisata. Untuk mencapainya, harus naik perahu sekitar 10 menit dari Desa Terunyan. Di makam ini, harus ada 11 jasad dengan formasi enam jasad disusun di baris atas, sedangkan lima jasad di bawahnya. Jasad ini digeletakkan begitu saja di bawah pohon tanpa dikubur dengan barang-barang yang dinilai memiliki kenangan kuat dengan si jenazah itu.
Jasad dibiarkan hancur secara alami. Jika sudah tinggal tulang, jasad itu dipindahkan. Tulang badan, tangan, dan kaki ditumpuk di samping pintu gerbang. Tengkorak kepala ditaruh di sebuah fondasi batu disusun berjejer dengan yang lain. Jika prosesi ini sudah dilakukan, berarti boleh ada jasad lagi yang dimakamkan di tempat ini.
Mulanya saat datang ke makam ini, kami berpikir akan mencium bau busuk dari jasad. Namun, tak satu pun dari kami yang mencium bau busuk. Sebaliknya justru wangi-wangian yang semerbak. Namun, bulu kuduk bergidik beberapa kali. Dari sela-sela bambu penutup, kami melihat jasad anak kecil yang ditutup sehelai kain putih. Ia baru meninggal sebulan yang lalu. Di sekeliling makamnya banyak bertabur koin-koin, seperti mata uang.
Tidak berubah
Walaupun menjadi tujuan wisata, bahkan pernah dalam sehari dikunjungi sekitar 1.000 wisatawan, Desa Terunyan tak berubah. Tidak ada penginapan, apalagi kafe atau restoran. Hanya sekitar 20 persen penduduk yang bekerja di sektor pariwisata, selebihnya petani.
Kenyataan ini meruntuhkan gambaran kemakmuran Bali, yang selama ini selalu dikaitkan dengan gemerlap di Kuta dan sekitarnya. (HAM/IDR/OTW)
Waktu menunjukkan lepas tengah hari ketika kami sampai di tepi Danau Batur di Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani. Usai bersantap di rumah makan terapung yang menawarkan menu olahan aneka ikan air tawar, kami pun bersiap melanjutkan perjalanan ke Desa Terunyan di seberang Danau Batur.
Tidak seperti umumnya wisatawan yang memilih menyeberang danau dengan menyewa perahu, kami mengambil jalur darat dengan menyusuri lembah di sisi timur. Jalan berlapis aspal tipis, dengan lebar sekitar lima meter. Medannya terjal, melewati tanjakan atau turunan tajam yang menukik, diapit kokohnya pegunungan dan cantiknya Danau Batur dengan airnya yang begitu tenang. Sekitar satu jam, sampailah kami di sebuah permukiman padat, tetapi tenang, persis di tepi Danau Batur. Itulah Desa Terunyan yang memikat turis asing maupun domestik sejak tahun 1970-an.
Pertanian merupakan tulang punggung perekonomian penduduk di desa seluas 19,3 kilometer (km) persegi ini. Lazimnya petani di daerah berhawa dingin, rata-rata sekitar 17 derajat celsius, mereka menanam sayuran, seperti kubis, kentang, wortel, dan buah seperti jeruk. ”Masih sedikit warga yang bekerja di sektor pariwisata, seperti menyewakan perahu atau menjadi pemandu wisata,” ungkap Sekretaris Desa Terunyan, I Ketut Jasa.
Berbeda dengan umat Hindu umumnya, mereka tidak menyembah Dewa Wisnu, Siwa, dan Bhrahma. Ada satu pura yang sangat dihormati di desa berpenduduk 3.000 jiwa ini, yakni Pura Pancering Jagat. Di dalamnya terdapat patung Ratu Sakti Pancering Jagat.
Sejumlah arkeolog memperkirakan, Terunyan sudah ada sejak abad X Masehi. Dari Prasasti Trunyan AI, misalnya, diketahui tulisan tahun 833 Saka yang menerangkan izin pembangunan satu kuil untuk Batara Da Tonta, yang tidak lain adalah Ratu Sakti Pancering Jagat. Di Pura Terunyan, Ratu Sakti Pancering Jagat berupa batu raksasa setinggi sekitar empat meter. Batu itu diperkirakan hasil seni patung gaya megalitik.
Tiga makam
Orang Terunyan biasa disebut sebagai orang Bali Aga, Bali Mula, atau Bali Turunan. Bali Aga berarti orang Bali Pegunungan, Bali Mula berarti Bali Asli. Nama Bali Aga diperoleh dari penduduk Bali lainnya, yang menyebut diri Bali Hindu, yang adalah penduduk mayoritas di Bali. Bali Hindu adalah entitas yang terkena pengaruh kebudayaan Jawa Majapahit.
Ada tiga makam, yakni sema wayah untuk mereka yang menikah dan mati wajar; sema bantas untuk yang mati tidak wajar, seperti kecelakaan; serta sema nguda untuk meletakkan jenazah bayi dan bujangan yang mati wajar. Sema wayah berada di bawah pohon menyan. Sementara sema bantas letaknya di tepi danau di daerah perbatasan masuk ke desa. Sema nguda letaknya di bukit atau tebing.
Dari tiga makam, sema wayah atau pemakaman di bawah pohon menyan yang menjadi daya tarik wisata. Untuk mencapainya, harus naik perahu sekitar 10 menit dari Desa Terunyan. Di makam ini, harus ada 11 jasad dengan formasi enam jasad disusun di baris atas, sedangkan lima jasad di bawahnya. Jasad ini digeletakkan begitu saja di bawah pohon tanpa dikubur dengan barang-barang yang dinilai memiliki kenangan kuat dengan si jenazah itu.
Jasad dibiarkan hancur secara alami. Jika sudah tinggal tulang, jasad itu dipindahkan. Tulang badan, tangan, dan kaki ditumpuk di samping pintu gerbang. Tengkorak kepala ditaruh di sebuah fondasi batu disusun berjejer dengan yang lain. Jika prosesi ini sudah dilakukan, berarti boleh ada jasad lagi yang dimakamkan di tempat ini.
Mulanya saat datang ke makam ini, kami berpikir akan mencium bau busuk dari jasad. Namun, tak satu pun dari kami yang mencium bau busuk. Sebaliknya justru wangi-wangian yang semerbak. Namun, bulu kuduk bergidik beberapa kali. Dari sela-sela bambu penutup, kami melihat jasad anak kecil yang ditutup sehelai kain putih. Ia baru meninggal sebulan yang lalu. Di sekeliling makamnya banyak bertabur koin-koin, seperti mata uang.
Tidak berubah
Walaupun menjadi tujuan wisata, bahkan pernah dalam sehari dikunjungi sekitar 1.000 wisatawan, Desa Terunyan tak berubah. Tidak ada penginapan, apalagi kafe atau restoran. Hanya sekitar 20 persen penduduk yang bekerja di sektor pariwisata, selebihnya petani.
Kenyataan ini meruntuhkan gambaran kemakmuran Bali, yang selama ini selalu dikaitkan dengan gemerlap di Kuta dan sekitarnya. (HAM/IDR/OTW)