OASE di tengah gurun pasir. Gaya abad ke-21.
Bayangkan danau kecil dikelilingi berbagai tumbuhan dan pepohonan. Di dua sisi bangunan utama berdiri dua cottage kecil terbuat dari bambu, mengandalkan sumber cahaya dari sinar matahari, dengan kapasitas hanya 80 kursi.
Tambahkan iPad di setiap meja sebagai pengganti menu makanan konvensional. Sebuah sentuhan kecil yang mengingatkan bahwa Anda berada di abad modern.
The Farm adalah sebuah restoran yang berada di pemukiman eksklusif Al Barari. Cukup sulit untuk menemukan tempat ini jika tidak menggunakan GPS atau sudah familiar dengan Jalan Raya Sheikh Mohammed bin Zayed yang berada di lingkar luar Dubai, Uni Emirat Arab.
Memasuki area Al Barari sesaat membuat saya lupa bahwa tempat ini berada di tengah-tengah gersangnya gurun pasir. Jalan masuk ke pemukiman hanya muat untuk satu jalur mobil, dengan pagar tumbuhan yang tinggi dan lebat di kedua sisi.
Jalan yang berliku ini dilalui selama hampir sepuluh menit. Seakan tengah memasuki labirin Queen of Hearts ala Alice in Wonderland, menuju ke Tea Party The Mad Hatter!
Memasuki The Farm dengan gerbangnya yang terbuat dari bambu, kursi malas gantung yang berjejer di pekarangan menyambut. Ada tiga bangunan yang seakan tembus pandang karena didominasi jendela-jendela besar.
Restoran The Farm di Dubai, Uni Emirat Arab.Tambahan lagi berbagai jenis tumbuhan dan pepohonan yang pastinya tidak berasal dari tanah Arab. Suasana ini mengingatkan saya pada Bali.
Sesuai dengan konsepnya yang peduli lingkungan, restoran ini hanya menyajikan makanan yang terbuat dari bahan organik, termasuk roti yang mereka olah sendiri. Anda tidak akan menemukan jenis ikan yang hampir punah misalnya, atau sayuran yang bukan pada musimnya.
Menu menggunakan iPad di restoran The Farm.Perangkat iPad menggantikan bentuk menu tradisional dengan tujuan menghindari penggunaan kertas dan untuk memudahkan pergantian isi menu. Untuk melengkapi suasana yang natural, kedua cottage tidak menyalakan lampu sampai saat matahari terbenam, hanya mengandalkan sinar matahari.
Pada akhir pekan, The Farm buka dari jam 8.30 pagi sampai 10.30 malam. Restoran ini menyajikan menu khusus sarapan, juga paket afternoon tea di sore hari. Namun saya sengaja datang sesaat sebelum jam 7 malam, agar dapat menikmati matahari terbenam selagi mulai menyantap hidangan makan malam.
Dengan suasana redup beberapa menit sebelum matahari terbenam, pemandangan kolam di depan mata dan hanya kurang dari sepuluh meja di cottageyang saya tempati. Cukup membantu mengalihkan perhatian saya dari perut yang kosong.
Ada beberapa pilihan hidangan utama berupa menu khas barat ataupun timur. Cukup mengesankan karena Anda bisa melihat gambar dan detail setiap hidangan dengan jelas dari layar iPad.
Setelah membaca tuntas setiap hidangan, pilihan saya jatuh pada Tomato Tatin sebagai hidangan pembuka. Semata-mata karena tampilan dan kombinasinya yang tidak biasa. Tomat yang diisi dengan keju kambing dan rocket salad di sisi terasa menyegarkan.
Hidangan pembuka kedua adalah Thod Man Goong Man Po. Rasa dan bentuknya selayaknya Thai’s Crab Cake, walau dengan tambahan udang. Ditambah dengan berbagai jenis roti, favorit saya adalah brioche yang sangat lembut dan mentega yang seakan meleleh ketika dioleskan, hidangan pembuka ini cukup untuk mengisi perut tanpa membuat saya terlalu kenyang.
Pilihan untuk hidangan utama jatuh pada Seabass Fillet, salah satu signature main dishes di The Farm. Ikan seabass yang digoreng garing ini ditumpuk di atas ubi yang dihancurkan halus.
Ubi menjadi pilihan yang menarik sebagai pengganti kentang tumbuk. Di atasnya ditaburi irisan halus lobak dan sejumput sayuran dan saus putih di sisinya. Hidangan ini cukup memuaskan, walau sayang tidak sememukau gambarnya.
Coconut Apricot Parfait
Cukup lama saya tertegun sebelum memilih Coconut Apricot Parfait sebagai hidangan penutup. Bukan karena terlalu banyak pilihan, tetapi karena dibandingkan dengan pilihan menu pembuka dan utama, menu penutupnya sangat terbatas dan tidak bisa dibilang unik.
Walau ternyata hidangan penutup ini ternyata sama sekali tidak mengecewakan. Apalagi manisnya kontras dengan kopi espresso pahit yang saya pesan.
Dengan konsep yang menyegarkan, mengingat saya berada di Timur Tengah, tempat ini patut dapat pujian. Cukup mendekati tagline restoran ini yang bisa dibilang teramat percaya diri:"The best restaurant in Dubai".
Di tengah-tengah persaingan restoran-restoran unik yang banyak bermunculan di Dubai, apakah The Farm mampu menarik saya untuk kembali ke sana? Tentu saja. Bukan dari kelezatan makanannya, tetapi dari suasana dan lokasinya yang membuat saya menemukan oase di tengah musim panas Uni Emirat Arab. (ASIH WULANSARI, penulis menetap di Dubai, Uni Emirat Arab, dan bisa dihubungi melalui Twitter @woewland)
Bayangkan danau kecil dikelilingi berbagai tumbuhan dan pepohonan. Di dua sisi bangunan utama berdiri dua cottage kecil terbuat dari bambu, mengandalkan sumber cahaya dari sinar matahari, dengan kapasitas hanya 80 kursi.
Tambahkan iPad di setiap meja sebagai pengganti menu makanan konvensional. Sebuah sentuhan kecil yang mengingatkan bahwa Anda berada di abad modern.
The Farm adalah sebuah restoran yang berada di pemukiman eksklusif Al Barari. Cukup sulit untuk menemukan tempat ini jika tidak menggunakan GPS atau sudah familiar dengan Jalan Raya Sheikh Mohammed bin Zayed yang berada di lingkar luar Dubai, Uni Emirat Arab.
Memasuki area Al Barari sesaat membuat saya lupa bahwa tempat ini berada di tengah-tengah gersangnya gurun pasir. Jalan masuk ke pemukiman hanya muat untuk satu jalur mobil, dengan pagar tumbuhan yang tinggi dan lebat di kedua sisi.
Jalan yang berliku ini dilalui selama hampir sepuluh menit. Seakan tengah memasuki labirin Queen of Hearts ala Alice in Wonderland, menuju ke Tea Party The Mad Hatter!
Memasuki The Farm dengan gerbangnya yang terbuat dari bambu, kursi malas gantung yang berjejer di pekarangan menyambut. Ada tiga bangunan yang seakan tembus pandang karena didominasi jendela-jendela besar.
Sesuai dengan konsepnya yang peduli lingkungan, restoran ini hanya menyajikan makanan yang terbuat dari bahan organik, termasuk roti yang mereka olah sendiri. Anda tidak akan menemukan jenis ikan yang hampir punah misalnya, atau sayuran yang bukan pada musimnya.
Pada akhir pekan, The Farm buka dari jam 8.30 pagi sampai 10.30 malam. Restoran ini menyajikan menu khusus sarapan, juga paket afternoon tea di sore hari. Namun saya sengaja datang sesaat sebelum jam 7 malam, agar dapat menikmati matahari terbenam selagi mulai menyantap hidangan makan malam.
Dengan suasana redup beberapa menit sebelum matahari terbenam, pemandangan kolam di depan mata dan hanya kurang dari sepuluh meja di cottageyang saya tempati. Cukup membantu mengalihkan perhatian saya dari perut yang kosong.
Ada beberapa pilihan hidangan utama berupa menu khas barat ataupun timur. Cukup mengesankan karena Anda bisa melihat gambar dan detail setiap hidangan dengan jelas dari layar iPad.
Setelah membaca tuntas setiap hidangan, pilihan saya jatuh pada Tomato Tatin sebagai hidangan pembuka. Semata-mata karena tampilan dan kombinasinya yang tidak biasa. Tomat yang diisi dengan keju kambing dan rocket salad di sisi terasa menyegarkan.
Hidangan pembuka kedua adalah Thod Man Goong Man Po. Rasa dan bentuknya selayaknya Thai’s Crab Cake, walau dengan tambahan udang. Ditambah dengan berbagai jenis roti, favorit saya adalah brioche yang sangat lembut dan mentega yang seakan meleleh ketika dioleskan, hidangan pembuka ini cukup untuk mengisi perut tanpa membuat saya terlalu kenyang.
Pilihan untuk hidangan utama jatuh pada Seabass Fillet, salah satu signature main dishes di The Farm. Ikan seabass yang digoreng garing ini ditumpuk di atas ubi yang dihancurkan halus.
Ubi menjadi pilihan yang menarik sebagai pengganti kentang tumbuk. Di atasnya ditaburi irisan halus lobak dan sejumput sayuran dan saus putih di sisinya. Hidangan ini cukup memuaskan, walau sayang tidak sememukau gambarnya.
Coconut Apricot Parfait
Walau ternyata hidangan penutup ini ternyata sama sekali tidak mengecewakan. Apalagi manisnya kontras dengan kopi espresso pahit yang saya pesan.
Dengan konsep yang menyegarkan, mengingat saya berada di Timur Tengah, tempat ini patut dapat pujian. Cukup mendekati tagline restoran ini yang bisa dibilang teramat percaya diri:"The best restaurant in Dubai".
Di tengah-tengah persaingan restoran-restoran unik yang banyak bermunculan di Dubai, apakah The Farm mampu menarik saya untuk kembali ke sana? Tentu saja. Bukan dari kelezatan makanannya, tetapi dari suasana dan lokasinya yang membuat saya menemukan oase di tengah musim panas Uni Emirat Arab. (ASIH WULANSARI, penulis menetap di Dubai, Uni Emirat Arab, dan bisa dihubungi melalui Twitter @woewland)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar